Liputan6.com, Jakarta Beberapa tahun yang lampau, ketika saya dan teman-teman sepakat berkumpul untuk menyaksikan pertandingan Piala Dunia 2014, salah seorang tiba-tiba bertanya, “Kenapa ya kita sebut Yunani, jauh banget sama bahasa Inggris-nya, Greece?”
Tak pelak, ujaran itu menimbulkan pertanyaan sambungan, misalnya mengenai negara Mesir yang dalam bahasa Inggris disebut Egypt.
Mengapa kita menggunakan Mesir alih-alih Egypt? Mengapa pula kita pakai Yunani dibanding Greece? Atau bagaimana Netherlands disebut Belanda dalam bahasa Indonesia?
Baca Juga
Advertisement
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Artinya, bahasa ini dapat mudah beradaptasi dengan bahasa lain. Salah satunya, bahasa Indonesia juga cepat menerima dan menyesuaikan dengan bentuk fonologi (bunyi) bahasa asing.
Misalnya, penyesuaikan k untuk nama negara berawalan atau menggunakan c, misalnya Canada menjadi Kanada atau Colombia menjadi Kolombia.
Setidaknya ada empat cara penyebutan nama negara dalam bahasa Indonesia. Pertama, ditulis dan diucapkan persis seperti nama internasionalnya (dari bahasa Inggris), misalnya Iran dan Malaysia. Kedua, disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia, tapi pelafalan masih mirip, contohnya Irak (Iraq) dan Kosta Rika (Costa Rica).
Ketiga, disesuaikan lafal dan ejaan sesuai bahasa Indonesia, seperti Prancis (France), Singapura (Singapore), dan Jerman (Germany). Terakhir, penerjemahan, misalnya Pantai Gading (Ivory Coast), Selandia Baru (New Zealand), dan Korea Selatan (South Korea).
Mesir, Yunani, dan Belanda
Di antara nama negara yang kita kenal, setidaknya ada tiga nama negaranya yang penyebutannya dalam bahasa Indonesia banyak menimbulkan kebingungan, yaitu Mesir, Yunani, dan Belanda. Dilihat dari fonemnya, Egypt dan Mesir jauh berbeda, begitu pula dengan Yunani (Greece) dan Belanda (Netherland).
Dari mana bahasa kita menyerap ketiga nama negara tersebut?
Mari kita bahas yang pertama. Mesir yang kita kenal dengan piramida besar Giza itu disebut Egypt dalam bahasa Inggris. Alih-alih menyerap dari bahasa internasional, ternyata Indonesia memilih menyebut negara itu dari bahasa Arab, yaitu مِصر (baca: Miṣr). Kedekatan kultural dan historis kemungkinan besar menjadi penyebabnya.
Seperti yang kita tahu, bangsa Arab dan Persia lebih dulu masuk ke Nusantara berabad-abad lalu, jauh sebelum bangsa Barat (yang menggunakan nama Egypt) masuk. Agama Islam yang bersamaan dibawa para pedagang dengan cepat juga diserap bersama budaya dan bahasanya.
Salah satu bukti penggunaan nama Mesir berabad-abad lalu adalah naskah klasik Hikayat Amir Hamzah yang ditulis sekitar tahun 1380. Sepenggal bunyinya adalah demikian, "Raja Masyrik dan Maghrib datang kepada Raja Mesir" (sumber: mcp.anu.edu.au).
Lalu bagaimana dengan Yunani? Negeri para dewa ini memiliki nama internasional Greece dan masyarakatnya disebut Greek. Hampir sama dengan Mesir, bahasa Indonesia menyebut Greece dengan Yunani karena diambil dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, negeri ini disebut يونان (baca: Yunan).
Kemudian dilakukan penyesuaian ke dalam bahasa Indonesia, sehingga kita menyebutnya Yunani. Bukti autentik mengenai hal ini banyak ditemukan dalam manuskrip klasik berbahasa Melayu beraksara Arab, antara lain dalam Hikayat Amir Hamzah bertanggal 1380, yang bertuliskan: "Pertama-tama aku datang ke negeri Yunan..." (sumber: mcp.anu.edu.au).
Nah, kalau penyebutan bahasa Belanda sepertinya agak sedikit unik. Selama berabad-abad, orang-orang di seluruh dunia umum menyebut Netherlands sebagai Holland. Padahal, Holland hanyalah satu bagian dari Netherlands.
Selain itu, kota-kota terkenal dan terbesar di Netherlands (Amsterdam, Rotterdam, dan Den Haag) berada di Holland Utara dan Holland Selatan. Sama seperti masyarakat dunia lebih mengenal Bali dibanding Indonesia, nama Holland kemudian menjadi sangat terkenal melebihi Netherlands sendiri.
Karena itu, nama Holland juga yang lebih sering dikenal di Nusantara ketimbang Netherlands. Nama ini pula yang kemudian dipakai luas di Nusantara. Hanya saja, di bumi Nusantara nama Holland disebut bervariasi yang dapat kita lihat dari beberapa catatan naskah klasik.
Antara lain, Wolanda (Hikayat Tanah Hitu, 1650), Welanda (Syair Hemop, 1750), Walanda (Warkah Sumatera Barat, 1793-1795), Olanda (Hikayat Maharaja Marakarma, 1844), Holanda (Carita Bangka, 1861), serta Belanda (Majalah Guru, 1931).
Lalu, siapa yang menentukan penyebutan nama negara dengan cara tertentu? Sebenarnya, salah satu sifat bahasa adalah abritrer alias mana suka. Tidak ada aturan baku bagaimana nama sebuah negara disebut dalam bahasa tertentu. Semuanya kembali ke masyarakat penutur bagaimana mereka ingin menyebut sebuah negara dalam bahasanya melalui sebuah konvensi (kesepakatan).
Namun, tentu saja ada agen-agen kebudayaan yang membawa cara tertentu kemudian memengaruhi dan menyebarkannya ke dalam masyarakat bahasa. Dalam hal ini, media, pemerintah, tokoh publik, dan lembaga pendidikan dapat berperan sebagai agen-agen budaya.