Kisah Haru Masa Kecil Dirut Pertamina yang Miskin dan Lemah

Dirut Pertamina Dwi Soetjipto berbagi kisah masa kecil yang menyentuh hati saat menjadi pembicara di acara Inspirato Liputan6.com.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Apr 2016, 19:35 WIB
Direktur Utama PT Pertamina, Dwi Soetjipto saat menjadi pembicara dalam tayangan Inspirato di Liputan6.com, Jakarta, Selasa (5/4). Dwi Soetjipto berbagi cerita tentang kisah suksesnya. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Kekurangan, lemah namun gigih mengubah hidup mungkin bisa menggambarkan perjuangan hidup Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto semasa kecil.

Dwi membagi kisah masa kecilnya yang menyentuh hati siapa saja yang mendengar, saat menjadi pembicara di acara Inspirato Liputan6.com, pada Selasa 5 April 216 yang lalu.

Berasal dari keluarga dengan ekonomi minus, Dwi bertekad harus mampu mengenyam pendidikan tinggi. Dimulai dari upayanya mengurus surat miskin setiap tahun hanya demi memperoleh potongan uang sekolah sebesar 50 persen saat masih di bangku sekolah dasar.

Perjuangannya berlanjut saat masuk bangku kuliah. Pria kelahiran Surabaya, 60 tahun silam itu berupaya mengejar bea siswa untuk bisa menamatkan kuliah di Institut Teknologi Surabaya (ITS).

"Semua orang di kampung saya bilang tidak mungkin orang seperti saya bisa kuliah di ITS waktu itu. Tapi dengan keseriusan saya, belajar giat, toh kita lulus," ucap Dwi Soetjipto. Berkat bea siswa, Dwi meraih gelar insinyur dari jurusan Teknik Kimia ITS.

Keterbatasan fisik turut membawa Dwi menggeluti seni bela diri silat. Kerasnya kehidupan juga menjadi alasan Dwi untuk membentengi diri dengan ilmu bela diri.

Kegigihannya ini berbuah manis. Dia terpilih menjadi juara nasional yang juga membuka pintu kesuksesan di masa depan.

"Satu poin saya ingin bercerita jika berangkat dari kekurangan, kekurangan diri kita yang lemah fisik, ternyata saya bisa juara nasional. Dan itu nanti menjadi modal saya untuk berkarir ketika saya kerja," Dwi berkisah.


Didemo 4 Bulan Saat Jadi Bos BUMN

Kisah Dwi berlanjut saat berkarir di industri semen. Dirinya mengisahkan cerita yang tak terlupakan sepanjang berkarir di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pria kelahiran Surabaya, 60 tahun silam itu mengaku pernah didemo saat menjabat sebagai orang nomor satu di PT Semen Indonesia Tbk.  

Mengepalai sebuah perusahaan besar milik negara bukanlah hal mudah. Banyak tantangan yang dihadapi oleh Dwi.

Mengutip pepatah "semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang pula angin menerpa," begitulah yang dialami Dwi. Jebolan gelar Doktoral Universitas Indonesia itu terus menerus "diserang" demo dari berbagai pihak.

"Ketika itu, saya didemo selama 4 bulan. Selama 4 bulan itu juga saya ada dalam pengasingan ," ujar dia.

Dalam pengasingan itu, Dwi mendapat kekuatan yang disebutnya sebagai buah kebaikan karena telah melakukan social investment atau kegiatan sosial. Pria ini aktif mengajar generasi muda latihan bela diri, pencak silat. Inilah salah satu olahraga yang sangat digemari Dwi.

"Saya bukan cuma bekerja untuk uang. Tapi saya ingin bekerja yang saya sebut pengabdian. Saya melatih silat anak-anak, sehingga mereka bisa mengembangkannya sendiri saat tumbuh besar. Ini namanya social investment yang bisa memberikan kita return. Jadi jangan ragukan kalau kita berbuat baik," terang Dwi.

Kekuatan atau motivasi lain yang mengantar Dwi meraih puncak karir adalah dorongan kedua orangtuanya. Ia mengakui bahwa sang Ayah hanya mengecap pendidikan dasar hingga kelas 3 SD dan Ibunya buta huruf.

"Keinginan orangtua berharap saya lebih baik dari mereka. Jadi saya harus sekolah tinggi. Jadi nilai yang terbangun dalam diri, saya harus lebih baik dari kondisi saat ini," kata Dwi.


Ubah Citra Buruk BUMN

Ubah Citra Buruk BUMN

Dwi Soetjipto ternyata mampu mematahkan anggapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai perusahaan berkinerja rendah melalui kerja keras.

Berkat tangan dinginnya, kinerja beberapa perusahaan semen di bawah kepemimpinannya melejit, termasuk Pertamina yang baru dinaungi selama setahun.

Dwi menjadi Dirut Semen Padang di periode 2003-2005, kemudian berlanjut di PT Semen Gresik periode 2005-2012. Nama Dwi makin bersinar ketika memimpin PT Semen Indonesia Tbk sebagai holding atau induk usaha dari perusahaan-perusahaan semen milik negara.

"Ketika diberikan tanggungjawab memimpin di beberapa perusahaan semen itu, saya melihat selama ini BUMN selalu dianggap sebuah usaha yang kinerjanya pasti rendah," ujar dia.

Puncaknya, diakui Pria kelahiran Surabaya, 60 tahun silam itu, kinerja keuangan dan harga saham Semen Indonesia selalu kalah dengan perusahaan semen lain, Indocement. Padahal kapasitas Semen Indonesia lebih besar.

"Selalu dikatakan Semen Padang harus dikelola dengan cara Semen Padang sendiri, Semen Gresik harus dengan budaya Jawa Timurnya. Kemudian kita pecahkan, kalau kita bisa bersinergi, harusnya bisa," papar Dwi.


Terbukti dengan upaya tersebut, Dwi mengatakan, laba atau keuntungan Semen Indonesia melonjak 11 kali lipat dalam waktu 8-9 tahun, dari sebelumnya Rp 500 miliar menjadi Rp 5,5 triliun.

Dengan pencapaian melesat itu, investor melihat positif perkembangan kinerja Semen Indonesia yang tercatat di papan Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode emiten SMGR. Walhasil disebutkan Dwi, kapitalisasi pasar Semen Indonesia dari Rp 10 triliun menjadi Rp 100 triliun atau naik 10 kali lipat dalam waktu 6-7 tahun. Aset perusahaan pun membumbung tinggi.

"Artinya apa? Even kita BUMN, tapi kita ubah mindset kita tidak harus seperti yang lalu. Setelah holding semen dibangun, kita ekspansi ke luar negeri, akuisisi perusahaan di Vietnam. Sejak saat itu, Semen Indonesia menjadi perusahaan semen terbesar. BUMN pun bisa go international, bukan cuma orang luar negeri akuisisi perusahaan kita tapi sebaliknya," tutur dia.


Kiprah di Pertamina

Kiprah di Pertamina

Di periode November 2014, Dwi Soetjipto dipercaya memimpin Pertamina, menggantikan posisi Karen Agustiawan. Lagi-lagi banyak orang mempunyai persepsi negatif terhadap BUMN Migas terbesar itu.

"Pertamina sarang mafia, tidak efisien, dan lainnya termasuk soal Petral. Ada yang bilang semua rekomendasi Petral tidak betul. Tapi setelah saya masuk, kita benahi," ujarnya.

Sebagai arek-arek Suroboyo, Dwi menggunakan cara berpikir Bonek atau Bondo Nekat dalam kasus tersebut. Akhirnya baru setahun memimpin Pertamina, Dwi membubarkan Petral atas arahan dari pemerintah.

Dengan pembubaran Petral dan mengoptimalkan Integrated Supply Chain (ISC), katanya, efisiensi proses pengadaan minyak sepanjang 2015 mencapai US$ 208 juta atau sekitar lebih dari Rp 2,5 triliun.

Pertamina pun melakukan berbagai upaya untuk menekan potensi kehilangan minyak, sehingga menghemat US$ 255 juta.

"Dengan upaya lain, maka efisiensi yang dilakukan Pertamina pada tahun lalu mencapai US$ 608 juta atau hampir sekitar Rp 8 triliun," papar Dwi.

Efeknya, diakui Dwi, perusahaan tertolong dengan upaya efisiensi tersebut ketika harga minyak dunia anjlok 60 persen sepanjang 2015. Sehingga perusahaan mampu mempertahankan laba, bahkan dihitung dalam kurs Rupiah, untung Pertamina naik dari Rp 18 triliun menjadi Rp 19 triliun.

"Saat harga minyak gonjang ganjing, banyak perusahaan minyak dunia lay off karyawan, seperti Petronas baru saja mengurangi 1.000 orang lebih, Shell, Chevron, tapi Pertamina bertekad tidak melaksanakan lay off. Bahkan kinerja perusahaan bisa dipertahankan dan ditingkatkan," jelas Dwi. Tertarik dengan kisah Dwi, simak dalam video berikut:


   

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya