Gerakan Pangkas Listrik demi Indonesia Terang Benderang

Pemerintah mengeluarkan satu program yang bertujuan memberikan akses listrik ke daerah-daerah yang belum mendapatkannya.

oleh NurmayantiPebrianto Eko WicaksonoFiki Ariyanti diperbarui 27 Apr 2016, 22:15 WIB
Ilustrasi Mati Lampu(Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 12.659 desa yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, hingga kini harus menerima kondisi belum memiliki akses listrik. Dari jumlah itu, 2.519 desa bahkan masih hidup dalam kegelapan di malam hari. Mayoritas desa yang belum mendapatkan pasokan listrik tersebut terletak di Papua dan Kawasan Timur Indonesia.

Demikian pula rasio elektrifikasi nasional saat ini baru ada di angka 87 persen. Targetnya rasio elektrifikasi naik menjadi 97 persen pada 2019.

Dari jumlah itu, 56 kabupaten memiliki rasio elektrifikasi masih di bawah 50 persen, dengan 46 di antaranya berada di Timur. Selebihnya berada di Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Nias dan Mentawai. 

Demikian sekelumit pemaparan yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dalam satu diskusi di Jakarta, Rabu (27/4/2016). Pemaparan ini merupakan kenyataan yang disadari pemerintah.

Luas dan kerumitan wilayah di Indonesia membuat pemerintah belum mampu memberikan penerangan bagi seluruh warga negaranya. Padahal, Sudirman menyebut listrik merupakan hak manusia.

"Ini semua menjadi tugas pemerintah dan tugas kita bersama kita untuk memberikan keadilan, dengan menyiapkan listrik bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil tersebut," ungkap Sudirman.

Lalu seperti apa gambaran kondisi pasokan listrik di Indonesia dan apa langkah pemerintah. Simak ulasannya:


Listrik Hak Warga Negara

Petugas tengah patroli di dalam ruang panel listrik di Rusun Benhil, Jakarta, Kamis (5/11/2015). Pemerintah akan tetap memberikan subsidi listrik kepada pelanggan 450 Volt Ampere (VA). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sudirman Said mengakui pasokan listrik merupakan hak setiap manusia dan pemerintah memiliki kewajiban untuk mewujudkan hak tersebut. Pemerintah pun terus membangun pembangkit listrik menyalurkannya hingga ke daerah-daerah pelosok untuk menciptakan pemerataan listrik.

Listrik menjadi kebutuhan dasar manusia modern. Tanpa listrik, peradaban modern tidak bakal terjadi. Listrik adalah pembuka jalan menuju peradaban modern dan tanpa listrik pembangunan tidak akan berjalan dengan baik.

"Minggu lalu saya ke Papua, situasinya lebih menyedihkan. Bahkan ada kabupaten yang sedikitpun belum tersentuh listrik PLN. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setelah 70 tahun Indonesia merdeka, masih ada masyarakat Indonesia yang belum memiliki akses ke listrik," kata Sudirman.

Hal serupa terjadi di Nias. Ia mengatakan, baru 47 persen rumah tangga menikmati listrik, sangat timpang dibanding wilayah-wilayah tetangganya di Sumatera Utara yang secara rata-rata sudah mencapai 92 persen.

Di awal April, wilayah ini bahkan mengalami pemadaman listrik selama beberapa hari. Hal ini terjadi karena dua PLTD sewaan berkapasitas 2 x 10 MW di Moawo berhenti beroperasi lantaran penyedia jasa sewa PLTD Nias melakukan pemutusan sepihak secara tiba-tiba. Kondisi ini kemudian menuai protes masyarakat Nias.

Kondisi ini mendorong pemerintah mengeluarkan satu himbauan yang bertujuan memberikan akses listrik ke daerah-daerah yang belum mendapatkannya.


Gerakan Potong Listrik 10 Persen

Upaya menerangi seluruh wilayah di Indonesia memang sejak lama dilakukan pemerintah. Kali ini, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencanangkan Gerakan Potong 10 Persen (PIT). Ini adalah program bersama pemerintah untuk memberikan akses listrik kepada 12.659 desa tertinggal sebelum 2020.

"PIT adalah program multi-approach dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Pemerintah, swasta, masyarakat sipil, bahkan dunia internasional," ujar Sudirman saat menggelar Konferensi Pers Gerakan Potong 10 Persen.

Gerakan ini mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk kompak melakukan penghematan energi sehingga menciptakan penghematan konsumsi listrik nasional 10 persen per tahun.

Foto dok. Liputan6.com
Dikatakan, ada beberapa cara yang sudah disepakati untuk mengurangi penggunaan listrik. Cara yang dimaksud, pertama mematikan lampu dan mencabut listrik dari peralatan elektronik yang tidak sedang dipakai, serta mencabut saklar.

Cara kedua, menahan volume mesin pendingin (air conditioning/AC) pada level 25 derajat. Dan ketiga, menjadikan hemat energi sebagai gaya hidup sehari-hari masyarakat Indonesia.

"Kalau tiga langkah ini dilakukan bersama, kita bisa menghemat konsumsi listrik nasional 10 persen. Kita akan mengkampanyekan gerakan ini besar-besaran dan secara masif. Bahkan kalau mau agresif lagi berhemat, ganti semua lampu atau peralatan elektronik yang ada label hemat energi," pinta Sudirman.

Gerakan Potong 10 Persen, Ia menambahkan akan diresmikan pada Minggu, 15 Mei 2016 dengan memanfaatkan kegiatan Car Free Day. Peresmian gerakan ini akan dibuka Menteri ESDM Sudirman Said.

"Jadi gerakan ini kita dorong untuk mengubah perilaku masyarakat agar lebih bijak menggunakan listrik meskipun tetap membutuhkan waktu," ujar dia.


Hemat Rp 20 Triliun per Tahun

Petugas PLN memperbaiki jaringan listrik di kawasan Pondok Ranji, Tangerang Selatan. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

 

Gerakan potong 10 persen melalui berbagai cara untuk mengurangi pemakaian listrik ditargetkan memberikan dampak ekonomi. Dengan langkah tersebut, pemerintah optimistis konsumsi listrik secara nasional akan hemat 18 Gigawatt per hour (GWh) senilai Rp 20 triliun per tahun.

Sudirman Said mengilustrasikan bila seluruh warga Indonesia bersedia mematikan lampu dan peralatan elektronik di rumah selama 1 jam setiap hari, setara dengan penghematan 600 watt per jam. "Dengan hemat listrik sebesar itu, kita bisa memberikan akses listrik kepada 1 rumah tangga di daerah terpencil," jelas dia.   

Sudirman mengatakan, total energi listrik yang terjual sepanjang 2014 sebesar 199.496 GWh. Realisasi tersebut bisa menjadi patokan untuk menghitung potensi potensi penghematan listrik dari gerakan potong 10 persen ini.

Penghematan terbesar, lanjut dia, pada rumah tangga, industri, dan bisnis dapat mencapai total 187.175 GWh. Jika 10 persen 18.718 GWh, yakni setara menghemat pembangunan 3,5 GW PLTU baru.

Sudirman menjelaskan, potensi penghematan listrik itu datang dari 12 Provinsi yang selama ini menyumbang konsumsi listrik paling tinggi di Indonesia. Meliputi Banten dan Jawa Barat, DKI Jakarta dan Tangerang, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Riau, dan Lampung.

Penghematan konsumsi listrik 10 persen dari 12 Provinsi ini, diakui Sudirman setara menghemat konsumsi listrik 17.411 GWh. Itu melihat prosentase penggunaan listrik di 12 Provinsi mencapai 91 persen dari pemakaian energi nasional.

"Dampak langsungnya setara menghemat pembangunan 3,2 GW PLTU senilai Rp 43,2 triliun serta melistriki seluruh desa Program Indonesia Terang 2,52 juta kepala keluarga atau 9,97 juta jiwa sehingga meningkatkan rasio elektrifikasi hingga 100 persen," tambah Sudirman.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kelistrikan ESDM, Jarman mengungkapkan, penghematan listrik sebesar 18.718 GWh setara dengan nilai sekitar Rp 20 triliun, apabila harga listrik per Kilowatt per jam sekitar Rp 1.300 per KWh.

"Sebanyak 18.718 GWh atau 18 Terawatt per hour (TWh) ini sekitar hampir Rp 20 triliun penghematannya," jelas dia.

Pemerintah, kata Sudirman, akan memantau atau mengevaluasi atas program ini terhadap golongan rumah tangga, industri, dan bisnis mengingat 70-80 persen konsumsi energi listrik terbesar ada di tiga kelompok ini.

"Kita akan pantau terus bagaimana progress-nya. Namanya gerakan mengubah perilaku masyarakat, jadi perlu waktu. Tidak ada kata terlambat, karena beberapa negara lain sudah lebih dulu melakukan penghematan konsumsi listrik atau energi lainnya," papar Sudirman.(Fik/Pew/Nrm/Ahm)




 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya