Liputan6.com, Jakarta - Penerimaan cukai tak lagi bisa bergantung pada rokok atau hasil tembakau. Salah satu alasan penerimaan cukai tak capai target karena penerimaan cukai dari tembakau yang turun.
Penerimaan cukai kuartal I 2016 hanya tercatat sebesar Rp 7,9 triliun, atau 5,4 persen dari keseluruhan target cukai dalam APBN 2016 sebesar Rp 146,4 triliun.
Angka ini lebih rendah 67 persen dibandingkan dengan realisasi cukai periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 24,1 triliun atau setara dengan 16,6 persen dari target cukai APBN-P 2015 sebesar Rp 145,7 triliun.
Faktor utama penurunan tersebut adalah menurunnya penerimaan cukai dari produk tembakau.
Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok dan tarif PPN produk tembakau pada 2016 serta mengeluarkan kebijakan PMK 20 tahun 2015 yang mewajibkan pembayaran pita cukai 2015 diselesaikan paling lambat 31 Desember 2015.
Baca Juga
Advertisement
Anggota Komisi XI DPR RI Anna Muawanah mengatakan, pemerintah harus lebih kreatif menggali objek cukai baru. Pada APBN 2016, DPR, Banggar, dan pemerintah sudah memutuskan adanya ekstensifikasi.
"Sasarannya bermacam-macam, mulai dari industri plastik, bahan bakar, minuman berpemanis, dan soda," ujar dia, Rabu (27/4/2016).
Anna mengaku sangat mendukung keputusan ini agar pemerintah dapat menutup kekurangan dari target cukai rokok. Selain itu, ia juga meminta pemerintah masuk akal dalam menerapkan target cukai untuk industri rokok. Misalnya, dengan kenaikan cukai, volume pun harus ditingkatkan.
"Yang terjadi saat ini adalah, cukai dinaikkan, tapi volume tetap. Sehingga yang dirugikan adalah industri," lanjutnya.
Bila industri dirugikan, Anna khawatir tenaga kerja akan menjadi imbas dari keputusan itu. Untuk itu kebijakan yang diambil harus adil dan linear.
Sementara itu, Hasan Aoni Aziz, Sekretaris Jenderal Gabungan Produsen Rokok Indonesia (GAPPRI) mengatakan, sebagai gambaran tahun 2016 target APBN dari cukai rokok sebesar Rp139,81 triliun, dan 2015 sebesar Rp139,12 triliun. Dengan produksi yang turun moderat antara 2,5-3 persen, kemungkinan akan berdampak pada penerimaan juga.
"Yang penting jangan sampai ada kebijakan cukai di tengah tahun yang akan membebani industri," ujar dia.
Hasan menjelaskan kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatur industri seperti PMK 20/2015 membebani industri.
"Dengan kondisi ekonomi yang relatif stabil, faktor kebijakan PMK 20/2015 (14 bulan di tahun 2015), membuat 2016 riilnya hanya 10,5 sampai dengan 11 bulan saja (harusnya hanya 10 bulan, tapi di Januari dan Februari 2016 tetap ada pembelian meskipun sedikit). Serta kenaikan tarif cukai yang tinggi dari 2015 ke 2016 11,3 persen," lanjutnya.
Pada 2015, rokok merupakan penyumbang terbesar pendapatan cukai dengan kontribusi sebesar 96 persen dengan nilai Rp 139,5 triliun dari total pendapatan cukai negara sebesar Rp 144,6 triliun. Selain rokok, penerimaan cukai dikontribusikan oleh minuman mengandung etil alkohol dan etanol.
Diketahui, saat ini pemerintah sedang mengkaji penerapan cukai pada barang lain yang memiliki dampak negatif pada lingkungan dan kesehatan, seperti botol plastik dan bahan bakar minyak (BBM). Penambahan barang kena cukai baru ini diharapkan akan mengurangi ketergantungan negara pada cukai hasil tembakau. (Zulfi S/Ahm)