Liputan6.com, Washington, DC - Donald Trump baru saja merilis detail kebijakan luar negeri dalam pidatonya, sehari setelah ia sapu bersih perolehan 118 delegasi di 5 negara bagian.
Kandidat peringkat pertama Partai Republik mengatakan ia akan mengaplikasikan 'America First' dalam kebijakan luar negerinya.
'America First' yang dimaksud adalah memprioritaskan warga AS dan keamanannya, terkait dengan keputusan kebijakan luar negeri.
Baca Juga
Advertisement
"Warga AS menjadi prioritas di dalam setiap keputusan kebijakan luar negeri, kalau saya jadi presiden," kata Trump seperti dilansir dari ABC News, Kamis (28/4/2016).
"Ini waktunya untuk mengganti kebijakan luar negeri AS yang karatan," tambahnya.
Tak hanya itu, Trump juga mengejek kebijakan luar negeri Barack Obama adalah bencana.
"Kalau memang kerjaan Obama adalah memperlemah AS, well... dia berhasil," ejek Trump.
Miliader nyentrik itu juga menyentil insiden Benghazi Libya saat Hillary Clinton jadi menteri luar negeri, serta topik lainnya tentang rencana masa depan kelak yang akan ia bangun bersama Rusia dan China.
"Kalau ada kebijakan yang tidak sesuai untuk AS, lebih baik hengkang saja, sesederhana itu," Ia juga tak segan menggunakan militer AS -- dan tentara -- kalau diperlukan.
"Saya juga tak segan-segan menggunakan kekuatan militer ketika tidak ada lagi alternatif. Tapi kalau ini perjuangan warga AS, kita harus menang. Jadi saya tak sembarangan kirim pasukan kalau tak dapat dimenangkan dan bukan urusan AS. Karena saya hanya berencana untuk menang," tegas Trump.
Selama berpidato, Trump terlihat membaca teleprompter. Sesuatu yang langka selama kampanye dan pidatonya.
Trump hanya menggunakan benda itu 2 kali dalam kampanyenya.
Bukan Hanya Trump
Kebijakan memprioritaskan warga AS tidak hanya ditawarkan oleh Donald Trump.
Setidaknya ada 2 grup politik AS yang mengumandangkan kebijakan 'America First' selama 100 tahun belakangan.
Kebijakan itu pertama kali digunakan saat AS keluar dari Perang Dunia II. Mereka membentuk America First Committe, semacam lembaga non-intervensi pemerintah yang menyorot kebijakan luar negeri.
Menurut sejarawan Arthur Schlesinger, para pendukung 'America First' yang bergabung dalam komunitas itu menjadi politisi yang mumpuni seperti mantan Presiden AS Gerald Ford dan Partai Republik Jonathan Bingham serta keluarga Taft.
Pendukung paling vokal dalam organisasi itu adalah pilot terkenal Charles Lindbergh yang berbicara pentingnya komunitas itu bagi warga AS.
Namun, organisasi itu membubarkan diri setelah AS mengebom Pearl Harbor Jepang.
Lalu, 6 dekade kemudian, organisasi itu kembali dibentuk oleh politisi Pat Buchanan setelah kalah dalam pencalonan Presiden AS tahun 2000 lewat tiket Partai Reformasi.
Grup itu terkenal dengan konservatif dan kebanyakan anggotanya adalah kandidat presiden dari Partai Republik.
Menurut ketua komite, Jonathan Hill, mereka mendukung kebijakan seperti mengontrol perbatasan, tarif yang bertentangan dengan free trade dan menolak kebijakan luar negeri sekarang.
Kendati demikian, Hill mengklaim grup mereka belum mendukung satupun kandidat Presiden AS. Namun ia mengaku grupnya memonitor tindak-tanduk Donald Trump.
"Kami memonitor Donald Trump... pernyataanya kebanyakan benar. Ia juga kandidat yang menarik dan cukup mengguncang," tandas Hill.