Liputan6.com, Jakarta - Sekitar 500 mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengikuti sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang diadakan di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Kamis (28/4/2016). Seluruh tempat duduk di Convention Hall itu terisi penuh. Bahkan banyak mahasiswa berdiri karena tidak mendapat tempat duduk.
Menurut Mahyudin, para mahasiswa ini merasa pemahaman atas ideologi Pancasila dan pilar-pilar lainnya agak kurang dalam. "Mereka menyadari bahwa mahasiswa itu mudah sekali dihasut, dicuci otaknya dengan ideologi-ideologi yang lain," kata Mahyudin usai membuka sosialisasi Empat Pilar MPR itu.
Advertisement
Kehadiran MPR RI di sini, kata Mahyudin, untuk memberikan pencerahan Pancasila termasuk pilar-pilar lainnya. Pendalaman tentang Pancasila UUD, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Mereka menyambut antusias sosialisasi Empat Pilar MPR ini dengan memenuhi ruangan. Ada sekitar 500 mahasiswa yang hadir," tambah Mahyudin.
Sosialisasi Empat Pilar MPR yang dibuka Wakil Ketua MPR Mahyudin ini merupakan kerjasama Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Mahasiswa UIN Yogyakarta dan MPR RI. Narasumber sosialisasi ini adalah anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar Hardisoesilo dan Wakil Rektor Dr. Siti Ruhaini (Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga).
Politisi Partai Golkar ini berharap dengan memahami ideologi Pancasila lewat sosialisasi Empat Pilar MPR RI maka para mahasiswa bisa terhindar dari paham-paham radikal. "Dengan memahami ideologi Pancasila saya kira kita bisa membentengi para mahasiswa dari paham-paham radikal yang tidak sesuai dengan ajaran negara kita," harap Mahyudin.
Kepada pers Mahyudin juga mengungkapkan persoalan amandemen UUD berkaitan dengan keinginan untuk menghidupkan kembali GBHN. MPR masih mengkaji amandemen ini dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi dan pakar hukum tata negara.
"Soal amandemen, kita masih melakukan kajian dengan melibatkan universitas-universitas untuk membuat naskah akademik amandemen itu dan saat ini posisinya masih pro dan kontra," katanya.
Pro kontra yang dimaksud adalah ada kelompok yang berpikiran GBHN perlu dimasukkan dalam Ketetapan (Tap) MPR RI sehingga perlu ada amandemen. Tapi ada yang berpikiran konsep GBHN cukup dimasukkan dalam UU. Jadi, tidak perlu dibuatkan amandemen UUD. Cukup ditempatkan dalam UU tapi dimodifikasi atau dijadikan satu dalam sebuah UU yang mengikat pelaksanaannya bagi pemerintah.
"Dua opsi ini masih dalam tahap kajian lembaga pengkajian kita didiskusikan dengan pakar hukum tata negara termasuk universitas yang ada di Indonesia," jelasnya.
Mahyudin berharap tahun ini sudah ada hasil dari kajian itu. "Paling lambat tahun depan kita bisa menghasilkan GBHN," tutupnya.