Liputan6.com, Surabaya - Berkunjung ke Surabaya kurang lengkap jika tak mengunjungi salah satu cagar budaya Museum Kesehatan Dr Adhyatma-Depkes RI di Jalan Indrapura 17, Surabaya. Masyarakat sekitar menyebutnya museum santet. Ada apa di dalamnya? Dari pantauan Liputan6.com, benda dan suasana yang terbangun memang beraroma mistis. Terlihat salah satu perintis museum itu, Dr. Haryadi Suprapto, membawa tiga dupa berwarna merah menuju salah satu sasana kesehatan pendidikan di dalam museum. Saat ditanya untuk apa dupa itu, dia tersenyum. "Mereka yang minta tapi ini hanya rutin saja, saya beri mereka (makhluk halus) enggak ada kepercayaan tertentu, saya hanya taruh di ruang dunia lain,"kata Haryadi kepada Liputan6.com, Rabu 27 April 2016.Museum ini membuka tiga sasana untuk pengunjung. Pertama, sasana kesehatan dan pendidikan, lalu sasana kebudayaan, dan sasana kesehatan reproduksi serta ada juga museum luar. Memasuki ruangan pertama sasana kesehatan pendidikan, ada sejumlah patung Dewa Airlangga, barang-barang kuno seperti sejumlah alat kedokteran, serta piagam-piagam termasuk pula sex toys (alat peraga seks/simulator) sebagai alat kesehatan.
Baca Juga
Advertisement
Di sana juga ada celana anti pemerkosaan. Tak hanya itu ada juga sejumlah sepeda kebo dan motor zaman Belanda. Ada juga kursi roda rotan untuk pasien serta puluhan mikroskop yang ditata rapi, kasur persalinan. Selain itu mesin foto copy kuno dan kursi periksa gigi.Memasuki sasana berikutnya terlihat beberapa foto hal-hal aneh seperti penampakan Semar di Parangtritis, uang Soekarno yang lentur saat menekuk ditaruh di telapak tangan, dan ada juga foto manusia magnet. Dalam foto tersebut piring sendok menempel di tubuh seseorang.Juga nampak sejumlah hewan yang sering dijumpai bahkan pernah dipercaya sebagai hewan penyebar penyakit yang diawetkan. Ada sapi, tikus, musang, trenggiling, kupu-kupu, nyamuk, serta replika tubuh manusia.
Pemandangan tersebut tepatnya berada di sasana flora dan fauna Museum Kesehatan Adhyatma Surabaya yang jaraknya hanya lima langkah dari sebuah gudang museum.Haryadi mengatakan bahwa menjelajahi isi museum ini bukan saja akan menambah wawasan terkait dunia kesehatan, tapi dapat melihat realita masyarakat yang hingga kini masih mempercayai hal-hal mistik.Di museum itu ada boneka Jelangkung yang dikenal sebagai permainan mistik salah satunya untuk mendiagnosa penyakit dan pengobatan. Boneka Jelangkung ini harus dipegang oleh dua anak yang masih suci dan dipandu seorang pawang. Sedangkan boneka Nini Towok yang permainannya harus dengan ritual memiliki tujuan untuk menjaga keselamatan desa dan menolak bala. Yang memainkan Nini Towok harus orang yang sudah tua.Tak hanya patung Jelangkung dan Nini Towok, terdapat pula dokumentasi upaya masyarakat yang awam penanganan medis dalam menangani penderita kelainan mental dengan cara dipasung. Cara ini sering digunakan saat era kolonial Belanda dulu bahkan hingga kini di sebagian daerah.Ada juga replika buah pisang, jeruk, tomat, semangka, jambu monyet, terong, serta nasi dan air putih yang ditaruh dalam kotak kaca yang bertuliskan puasa kejawen. Di sebuah ruangan juga terdapat rak untuk menyimpan koleksi Terapi Pakaian. Isinya antara lain kain ulos dari Batak, selendang kuning yang dipercaya masyarakat Dayak bisa menolak bala. Sampai kini kain milik kepala suku Dayak diyakini dapat melindungi tubuh dari serangan mistis. Di sampingnya terlihat lemari terapi musik, berisi alat-alat musik tradisional untuk penyembuhan, misalnya kempyeng dan bende wedok.
Selain dua gedung yang menyimpan peralatan dan sarana pengobatan tradisional dan modern, ada satu ruangan yang tertutup rapat dan terkunci. Di bagian pintunya ada tulisan “dunia lain”.Menurut Haryadi, ruangan itu memang tertutup, dan tidak semua orang bisa masuk. Untuk menuju ruangan itu harus melewati lorong dengan deretan peti mati dan kuali (gentong)"Kuncinya ada di saya, hanya yang bisa saja melihat ya tidak apa apa, karena itu hanya bekas wc saja tapi yang bisa yang tidak ada apa-apa sebenarnya," kata Haryadi.Menurut dia wajar saja jika ada masyarakat yang mengatakan museum tersebut adalah museum santet.
"Sebenarnya museum ini adalah museum kesehatan tapi jika masyarakat mengatakan itu museum santet tidak salah karena tentunya itu non medis juga pengobatannya tentunya," kata Haryadi.
Berawal dari Rumah Sakit Kelamin
Menurut Haryadi sebenarnya keberadaan Museum Kesehatan ini bertujuan untuk menyelamatkan barang kuno saja.
"Koleksinya ada sejak tahun 1950 hingga 1990, karena memang dulunya rumah sakit kelamin yang dulunya skala internasional," ujar pria berusia 75 tahun ini.Dia mengatakan koleksi museum seperti peralatan dan sarana terkait santet, teluh atau tenung tak bisa dipungkiri, menjadi bagian dari tradisi dan budaya sebagian masyarakat di nusantara. Meski teknologi sudah maju dan berkembang, santet itu ternyata juga masih ada dan dipraktikkan hingga saat ini.Haryadi menjelaskan bahwa gedung museum ini sebenarnya adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) dan Kebijakan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Di dalam komplek gedung Puslitbang itulah ada juga dua gedung yang dipergunakan sebagai bangunan untuk museum.
Gedung pertama sebagai museum alat-alat kesehatan modern dan gedung kedua adalah peralatan dan sarana pengobatan dan kedokteran tradisional termasuk di dalamnya adalah santet.Informasi yang dihimpun Liputan6.com menunjukkan museum ini dibangun oleh Menteri Kesehatan RI Dr J Leimena pada 20 Nopember tahun 1950 sebagai rumah sakit kelamin. Saat itu Dr J. Leimena menugaskan Prof Dr. Sutopo seorang ahli penyakit kulit dan kelamin untuk melakukan penelitian terkait penyakit kulit dan pemberantasan penyakit kelamin.Sedangkan pada 10 Nopember 1951 dilakukan peletakan batu pertama dan pada bulan Oktober 1953 diresmikan sebagai direktur adalah Prof Dr Soetopo. Namun, pada 16 Desember 2003 gedung museum kesehatan ini ditetapkan sebagai Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan (Puslitbang Yantekkes atau P4TK) pada 2000-2005. Museum ganti nama menjadi Museum Kesehatan Dr Adhyatma MPH setahun kemudian. Menteri Kesehatan DR dr Achmad Sujudi MHA meresmikannya 14 September 2004. Sementara itu awalnya museum ini juga dirintis oleh Dr.dr. Harijadi Soeparto DOR M.Sc , sendiri yang kemudian mengambil penamaan museum dari dr. Adhyatma yang pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan pada tahun 1988 hingga 1993.
Menikmati wisata di Museum Kesehatan Adhyatma Surabaya ini pengunjung hanya mengganti biaya loket masuk Rp. 1500 saja per orang. Museum ini tutup pada Jumat, Sabtu, Minggu. "Kami ingin tahu sejauh mana alat kesehatan zaman dahulu dan sekarang," kata Laila, salah satu siswa dari SMK Kesehatan Terpadu Surabaya, saat mengunjungi museum yang memiliki luas lahan 5,6 hektare ini.Saat Liputan6.com memasuki ruangan kesehatan budaya tradisional salah satu pengujung mengalami pusing kepala. "Saya sudah dua kali melewati ruangan ini selalu saja tiba-tiba pusing dan kepala berputar-putar, nggak tahu kenapa," ujar Didik, pengunjung asal Bulak Banteng, Surabaya saat menemani putranya ke museum itu.
Advertisement