Liputan6.com, Jakarta - Hi5tory. Kombinasi kata "history" dan angka 5 itulah yang dipakai Juventus saat merayakan keberhasilan merebut Scudetto musim ini. Sejarah memang dibukukan La Vecchia Signora. Lima kali merebut Scudetto secara beruntun adalah kali kedua bagi Juventus setelah musim 1930-31 hingga 1934-35.
Baca Juga
- Rumah Tangga Retak, WAGs MU Pamer Foto Seksi
- MU Rela Jual Depay Demi Dapatkan Pemain Ini
- Cuplikan Video Atletico Bungkam Bayern Muenchen
Advertisement
Internazionale sebenarnya juga menorehkan prestasi yang sama pada 2005-06 hingga 2009-10. Tapi, Scudetto musim 2005-06 jadi perdebatan. Bagi Juventus, itu adalah Scudetto-nya, bukan milik Inter. La Beneamata dihadiahi Scudetto hanya karena La Vecchia Signora tersangkut Calciopoli.
Buktinya, dalam perayaan juara kali ini, juga empat musim sebelumnya, selalu ada selisih dua Scudetto. Juventus tetap mengklaim Scudetto kali ini adalah yang ke-34 walaupun FIGC telah mencabut Scudetto musim 2004-05 dan 2005-06 karena kasus Calciopoli.
Karena jarang terjadi, menjadi yang terbaik di Serie A lima musim beruntun tentu saja prestasi luar biasa. Hanya tim istimewa yang sanggup melakukannya. "Juventus saat ini adalah yang terkuat. Memenangi kompetisi lima kali beruntun bukan hal mudah," kata Ivan Cordoba, eks penggawa Inter, kepada La Gazzetta dello Sport.
Akan tetapi, Scudetto kelima secara beruntun itu bisa dilihat sebagai ancaman bagi Serie A. Dominasi Juventus yang terlalu kuat adalah sinyal ketidakberesan. Bisa jadi Serie A akan seperti Premier League Skotlandia yang dikuasai Celtic FC. Bukankah tak elok bila sebuah liga hanya dijuarai oleh klub yang itu-itu saja? Tidakkah menjemukan saat sebuah klub terus-menerus juara dan seolah tanpa pesaing sepadan?
Apalagi, keberhasilan Gianluigi Buffon cs musim ini bahkan lebih cepat dari Bayern München yang dicap sebagai penguasa tunggal Bundesliga 1. Saat La Vecchia Signora berpesta, Die Roten masih harus menunggu tiga angka lagi untuk memastikan Die Meisterschale tetap berada di Säbener Strasse untuk empat musim beruntun. Gianluigi Buffon dkk hanya kalah cepat dari Paris Saint-Germain yang sudah memastikan juara Ligue 1 saat kompetisi masih menyisakan delapan pekan.
Kasarnya, hi5tory bisa dimaknai sebagai pertanda kematian Serie A. Klub-klub lain terlalu lemah untuk menghentikan Juventus. Musim ini, ketika Juventus menjalani start sangat buruk, tak satu pun yang bisa memanfaatkannya untuk merebut Scudetto. Begitu Juventus bangkit, mereka menepi, mempersilakan sang petahana kembali ke capolista. Ini membuktikan klub-klub lain masih terlalu jauh panggang dari api dalam urusan Scudetto.
Tanpa start apik itu, Juventus lantas merebut Scudetto dengan dua catatan hebat. Mereka membukukan 15 kemenangan beruntun. Itu terpaut dua kemenangan saja dari rekor Serie A. Lalu, Buffon mencetak rekor clean sheet terlama di Serie-A selama 973 menit.
Jurang Terlalu Lebar
Tak bisa dimungkiri, klub-klub lain di Italia tertinggal jauh dari Juventus dalam segala hal. Cesare Prandelli, eks allenatore timnas Italia, malah menyebut Juventus berlari satu dekade di depan para rivalnya di Italia. Buktinya mudah saja, pergantian pelatih dan kepergian pemain pilar tak lantas membuat Juventus menukik.
Soal finansial, keunggulan La Vecchia Signora jelas terlihat dari pendapatan 323,9 juta euro pada musim 2014-15. Mereka unggul jauh dari AC Milan di belakangnya yang hanya meraup 199,1 juta euro. Revitalisasi stadion menjadi salah satu kunci keberhasilan Juventus mendongkrak pendapatannya itu.
Menyangkut performa di lapangan, menurut Prandelli, keunggulan Juventus terletak pada kesadaran kolektif untuk berprestasi. Itulah yang membedakan dari Napoli, Fiorentina, dan Inter yang sempat menjadi capolista.
Patrice Evra mengakui kesadaran terhadap tuntutan untuk berprestasi itu. Bek kiri Juventus asal Prancis tersebut menegaskan, "Siapa pun yang mengenakan kostum Juventus harus mampu jadi juara. Barang siapa yang akan memakai kostum ini musim depan, harus juara. Itu adalah tujuan."
Berkat kesadaran itu pula, menurut Evra, La Vecchia Signora bangkit dari start buruk dan sanggup melupakan kepergian Carlos Tevez, Andrea Pirlo, dan Arturo Vidal. Apalagi manajemen Juventus memahami betul betapa penting untuk tetap menghadirkan pemain-pemain berkelas dunia. Paulo Dybala, Sami Khedira, dan Mario Mandzukic adalah rekrutan top musim ini.
Kehadiran para bintang dunia itu kian memperlebar jarak dengan klub-klub lain yang paling banter hanya menggaet pemain berkelas internasional, bukan berkelas dunia, karena kondisi ekonomi yang tak sebagus Juventus. Bahkan Inter dan Milan yang termasuk 4-besar klub dengan pendapatan tertinggi di Serie-A saja begitu sibuk mencari investor baru.
Musim depan, dengan hasrat tinggi allenatore Massimiliano Allegri untuk menaklukkan Eropa, skuat La Vecchia Signora dipastikan bakal lebih wah. Kabar yang beredar menyebutkan Edinson Cavani, Andre Gomes, dan Henrikh Mkhitaryan sebagai buruan utama Giuseppe Marotta, juru transfer Juventus, saat ini.
Dua Sandungan
Karena klub-klub lain terlalu lemah, musuh utama Juventus adalah dirinya sendiri. Hanya kelengahan, kepongahan, dan kecerobohan yang potensial menghentikan mereka. Apalagi setidaknya ada dua sandungan yang harus akan menghadang musim depan.
Pertama, ambisi menjuarai Liga Champions. Sejarah mencatat, belum pernah Juventus mengawinkan Scudetto dengan gelar juara Liga Champions. Dalam dua kesempatan merajai Eropa, Juventus gagal di kompetisi domestik. Musim 1984-85, Scudetto diraih Hellas Verona. Sementara itu, pada 1995-96, Scudetto jadi milik Milan.
Sebaliknya, lima kali La Vecchia Signora menjuarai Serie A dengan diwarnai kekalahan di final Piala/Liga Champions. Itu terjadi pada 1972-73 (kalah dari Ajax Amsterdam), 1996-97 (kalah dari Borussia Dortmund), 1997-98 (kalah dari Real Madrid), 2002-03 (kalah dari Milan), dan 2014-15 (kalah dari Barcelona).
Hal kedua yang menjadi sandungan besar adalah tantangan mencetak rekor baru, merebut Scudetto keenam secara beruntun. Pada 1935-36, upaya Juventus melakukan hal itu digagalkan Bologna. Adapun langkah Inter pada 2010-11 dihentikan Milan.
Di liga-liga elite Eropa lain pun angka enam ini menjadi misteri. Di Divisi Primera, dua kali Madrid gagal merebut gelar enam kali beruntun. Pada 1965-66, mereka dihentikan Atletico Madrid. Sementara pada 1990-91, giliran Barcelona yang menjadi penjegal. Satu-satunya anomali terjadi di Ligue 1 ketika Olympique Lyonnais juara dari 2001-02 hingga 2007-08.
Bila dua sandungan itu sanggup dilewati, tak usah gerah bila ada yang menyebut Serie A sudah mati. Bagaimanapun, itu adalah bukti ketimpangan yang terlampau jauh antara Juventus dan klub-klub lainnya.
Sekarang pun, sah-sah saja bila ada yang beranggapan demikian karena lima kali juara beruntun bahkan tak pernah terjadi di Bundesliga 1 dan Eredivisie yang dianggap sebagai liga yang monoton.
*Penulis adalah jurnalis, komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini ke akun @seppginz.
Advertisement