Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) lima terpidana mati kasus narkoba. Dalam petikan putusan MA No. 201 PK/PID.SUS/2014 yang diterima Liputan6.com, mereka adalah Zhang Manquan, Chen Hongxin, Jian Yuxin, Gan Chunyi, Zhu Xuxiong. Keempatnya adalah warga China.
Menurut Majelis Hakim Agung yang terdiri dari Salman Luthan selaku ketua majelis dan Andi Samsan Nganro serta Margono selaku hakim anggota, berdasarkan rapat permusyawaratan MA pada Selasa 3 Februari 2015, diputuskan untuk menolak PK tersebut.
"Menolak permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali/Para Terpidana," demikian bunyi putusan tersebut. Dengan kata lain, majelis menetapkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku.
Saat kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang, kelima terdakwa sebenarnya tak dijatuhi vonis mati. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 891/Pid.B/2006/-PN.TNG. tertanggal 6 November 2006 menyatakan mereka dijatuhi vonis 20 tahun penjara.
Kasus ini kemudian berujung pada pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi Banten, baik oleh jaksa penuntut umum maupun para terdakwa. Melalui putusan Pengadilan Tinggi Banten No. 89/PID/-2006/PT.BTN. tertanggal 17 Januari 2007, majelis hakim menguatkan putusan PN Tangerang No. 891/Pid.B/2006/-PN.TNG. yang dimintakan banding.
Baca Juga
Advertisement
Tak puas dengan putusan itu, jaksa penuntut umum Kejari Tangerang kemudian mengajukan kasasi ke MA. Putusan Mahkamah Agung RI No. 771 K/PID/2007 tertanggal 29 Mei 2007 kemudian menyatakan mengabulkan permohonan kasasi pemohon dengan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang.
Majelis kasasi kemudian mengadili sendiri dan menyatakan kelima terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi Psikotropika Golongan I secara terorganisasi dan memproduksi Psikotropika. Mereka kemudian dijatuhi pidana mati.
Putusan kasasi inilah yang kemudian dimohonkan PK oleh para terpidana mati yang belakangan juga ditolak oleh Majelis Hakim Agung.
Setelah melewati jalan berliku dan melelahkan serta memakan waktu yang cukup lama, harusnya para terpidana mati itu sudah bisa dieksekusi. Apalagi kalau dia tak memutuskan untuk mengajukan grasi kepada presiden, otomatis tak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh.
Namun, pada kenyataannya masih ada cara lain yang dilakukan para terpidana mati ini untuk menunda atau malah lolos dari regu tembak. Misalnya, dengan mengajukan permohonan PK berkali-kali, baik untuk kasus yang sama atau dalam kasus yang berbeda. Padahal, ketentuan hukum tentang PK sudah jelas.
PK Hanya Boleh Sekali
Peninjauan Kembali (PK) adalah salah satu tugas Mahkamah Agung yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 yang berbunyi:
"MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap"
Namun, PK hanya dapat dilakukan sekali, bukan berkali-kali. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:
"Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja"
Ketentuan di atas juga dipertegas dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebut terhadap putusan PK tidak dapat diajukan PK kembali.
Ketentuan tersebut memang sempat tak digunakan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali yang dimohonkan mantan ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan anaknya sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali.
Namun, di penghujung akhir 2014, MA akhirnya menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang mengatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan MK.
Pertimbangan MA, ketentuan yang melarang PK lebih dari sekali tidak hanya terdapat di KUHAP yang pasalnya sudah dibatalkan MK. Tetapi juga di peraturan lain seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung.
Meski demikian, MA mengakui PK dapat diajukan lebih dari sekali apabila ada dua atau lebih putusan PK yang isinya saling bertentangan atas obyek perkara yang sama.
Namun, aturan itu tetap saja disiasati oleh para terpidana mati.
Advertisement
Belajar dari Freddy Budiman
Terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman memang lolos dari eksekusi tahap II yang digelar pada akhir April tahun lalu. Bandar narkoba yang memiliki jaringan hingga ke Belanda itu menyiasati hukuman matinya dengan mengajukan PK.
Hal yang sama kembali terjadi. Dia tidak masuk dalam daftar terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahap III tahun ini. Padahal, Kejagung sejak tahun lalu mengisyaratkan bahwa Freddy akan dieksekusi untuk tahap III.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Tony T Spontana pada Jumat 24 April 2015 mengatakan, sebenarnya jaksa eksekutor telah menyambangi Freddy di Lapas Nusakambangan untuk memberitahu bahwa hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
Namun, Freddy menolak dieksekusi karena ia ingin menempuh jalur PK. Padahal, kata Tony, Freddy pernah berbicara di media bahwa dirinya telah siap dieksekusi. Dan Freddy sebenarnya direncanakan masuk eksekusi tahap II.
"Jaksa eksekutor menemuinya di lapas untuk memastikan perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan akan dilakukan eksekusi. Tapi ternyata yang bersangkutan mengatakan akan mengajukan PK. Jadi tidak bisa dieksekusi (tahap 2)," beber Tony.
Selain itu, Kejagung telah mensomasi Freddy terkait lamanya waktu pengambilan keputusan PK-nya. Karena itu pula Kejagung akan memasukkan nama Freddy dalam tahap III eksekusi. Bahkan, pihak Kejagung telah menyiapkan judul untuk eksekusi tahap 3, yaitu "Perang Melawan Kejahatan Narkotika".
"(Freddy) Diikutkan eksekusi akan datang (tahap 3). Jadi eksekusi yang akan datang mengambil tema perang melawan kejahatan narkotika," tegas Tony.
Namun, rencana itu tak kesampaian, Jaksa Agung HM Prasetyo memastikan Freddy tak akan dieksekusi tahun ini.
"Begini, belum semua hak yang bersangkutan terpenuhi. Dia masih melakukan PK. Dia masih menggunakan hak hukumnya," ujar Prasetyo saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Kamis 21 April 2016.
Padahal, langkah yang dilakukan para terpidana itu dengan mengajukan PK atau grasi mestinya tidak menghalangi atau menunda pelaksanaan eksekusi. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, jika semua orang ingin menunda eksekusi, selalu akan ajukan PK.
"Kalau misalnya PK tanggal segini, ya biarin saja. Kalau kita terbelenggu itu. Semua menunda hukuman lalu PK," kata Mahfud di Yogyakarta, Jumat 27 Februari 2015.
Dia mengatakan tidak ada kewajiban untuk eksekusi dalam kasus apa pun dengan menunggu hasil PK, baik dalam kasus perdata, tata usaha negara, dan pidana. Menurut Mahfud, PK menegaskan tidak menunda pelaksanaan vonis yang sudah inkrach.
Intinya, tak ada alasan untuk menunda eksekusi para terpidana mati yang sudah mendapatkan putusan atau vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrach.