Fitra: Pemerintah Harus Tagih Tunggakan Dividen BUMN

Fitra menyarankan agar pemerintah dapat menagih tunggakan dividen tersebut untuk mengoptimalkan penerimaan negara.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Apr 2016, 15:45 WIB
(Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengimbau kepada pemerintah agar menagih tunggakan dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selama periode 2010 sampai dengan saat ini. Upaya tersebut dapat secara signifikan meningkatkan penerimaan negara dibandingkan menjalankan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).

Manager Advokasi Fitra Apung Widadi mengaku telah melakukan audit terhadap laporan dividen seluruh perusahaan pelat merah. Hasilnya, terdapat piutang negara dalam bentuk dividen yang belum disetor BUMN mencapai Rp 562 triliun.

"Total dividen yang belum dibayarkan Rp 562 triliun dari seluruh BUMN periode 2010 sampai sekarang. Masalahnya sekarang uang itu ke mana? Besar lho," tegas Apung saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (29/4/2016).

Apung menyarankan agar pemerintah dapat menagih tunggakan dividen tersebut untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Pasalnya kontribusi dari pendapatan pajak tahun ini diprediksi mengalami kekurangan atau shortfall hingga Rp 200 triliun. Cara tersebut diyakini sebagai salah satu alternatif di luar peningkatan pungutan pajak.

"Daripada tax amnesty yang cuma dapat Rp 60 triliun dan takluk pada konglomerat, lebih baik berdayakan potensi piutang negara di BUMN itu. Kalau masalahnya duitnya ada atau tidak, ya berarti ini pintu masuk buat memperbaiki BUMN," ucapnya.

Fitra juga menolak Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty) yang digadang pemerintah dan DPR RI. Kebijakan pengampunan pajak dianggap menjadi fasilitas bagi para konglomerat pengemplang pajak, koruptor, dan pelaku tindak kejahatan ekonomi lain.

Apung mengungkapkan, pemerintah sangat ngotot memperjuangkan RUU Pengampunan Pajak tanpa ada dampak signifikan terhadap pendapatan negara. Justru sebaliknya, kebijakan ini diyakini hanya akan dimanfaatkan orang-orang tertentu.

"Kita menolak RUU Tax Amnesty, karena hanya menyakiti hati masyarakat. Harta-harta para koruptor atau dana hasil kejahatan yang disimpan di luar negeri bisa difasilitasi tax amnesty," ucap dia.

Paling menyakitkan lagi, kata Apung, Samadikun Hartono, buron kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) selama 13 tahun dapat memanfaatkan pengampunan pajak yang menawarkan penghapusan sanksi pidana pajak dan hanya membayar tarif tebusan murah apabila menarik pulang harta kekayaannya di luar negeri.

Fasilitas pengampunan pajak, sambungnya, juga bisa dinikmati para obligor atau pengutang yang ikut mencicipi bantuan likuiditas tersebut. Sehingga ini hanya menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat yang selama ini patuh membayar pajak.

"Ini jelas-jelas melukai hati rakyat karena kasus Samadikun Hartono bisa diselesaikan hanya dengan pengampunan pajak. RUU Tax Amnesty ini pro koruptor, cuma jadi karpet merah bagi konglomerat dan pelaku kejahatan ekonomi," terang Apung.

Dalam RUU tax amnesty tersebut, ia menuturkan, ada pasal yang menyebut seseorang atau badan usaha yang mengajukan pengampunan pajak, maka akan dilakukan proses pengampunan tanpa melihat asal usul harta. "Tidak disaring, sehingga RUU ini berpotensi menarik banyak uang haram dalam APBN dan perekonomian Indonesia," ujar dia. (Fik/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya