Liputan6.com, London - Penggemar pornografi dihadapkan kepada kenyataan yang menggoyahkan. Berdasarkan penelitian ilmiah, ternyata pornografi menyebabkan kebosanan dan merusak mental.
Pertama, ada suatu penelitian yang dilakukan oleh University of Kent terhadap 366 wanita Inggris berusia 17 hingga 69 tahun tentang keinginan para peserta meraih “kesempurnaan seksual” seperti yang kerap dijejalkan melalui pornografi secara daring.
Ternyata, “kesempurnaan” itu menyebabkan stres, baik pada kaum wanita dan pasangan mereka.
Baca Juga
Advertisement
Ketika disodori pertanyaan-pertanyaan perihal ekspektasi mereka tentang seks, lebih tingginya ekspektasi wanita untuk memberi dan menerima kesempurnaan membuat mereka malah kurang menikmati seks sesungguhnya.
Menurut penelitian itu, kecemasan performa yang dipengaruhi pornografi berdampak kepada kesempatan sang wanita untuk mencapai klimaks dan bahkan menghentikan sejumlah pria untuk melakukannya. Ironisnya, kaum wanita yang paling menuntut kesempurnaan seks adalah mereka yang jomblo. Demikianlah yang dikutip dari Telegraph pada Jumat (29/4/2016).
Dengan bertambahnya usia, pria dan wanita menjadi tidak begitu khawatir lagi untuk menyenangkan orang lain dan lebih berpusat kepada kenikmatan sendiri.
Ke dua, adalah laporan majalah Time pada awal bulan April ini, yang bertajuk “Porn and the Threat to Virility: Why young men who grew up with internet porn are becoming advocates for turning it off”.
Setelah melakukan wawancara dengan para pengguna NoFap, tulisan itu menyebutkan para pria yang menderita gangguan ereksi karena pornografi (porn-induced erectile dysfunction, PIED). NoFap adalah sumberdaya daring untuk membantu pria yang kecanduan pornografi agar bisa melepaskan diri.
Laporan Time itu sejalan dengan tayangan Porn On The Brain for Channel 4 di Inggris. Pembawa acara melakukan wawancara dengan 23 pengguna terparah pornografi. Seorang pemuda berusia 19 tahun bahkan mengaku melakukan masturbasi hingga 28 kali dalam sehari dan mengatakan bahwa “pornografi selalu lebih baik” daripada seks sesungguhnya.
Para peserta wawancara sudah terlalu tergantung pada gambar-gambar seksual sehingga mereka harus memikirkan pornografi bahkan ketika sedang berhubungan seks sesungguhnya. Kalau tidak begitu, mereka tidak bisa melakukannya.
Pesan di sini adalah bahwa pornografi tidak memperbaiki seks sungguhan, tapi malah meredamnya.
Pesan ini lebih mungkin didengar oleh para remaja daripada pendekatan melalui ancaman neraka oleh para feminis anti-pornografi, pengawas internet, atau tokoh-tokoh agama. Mengapa? Karena remaja dan kaum muda justru ingin melakukan hal-hal yang dilarang.
Coba katakan kepada remaja-remaja itu bahwa mereka akan masuk neraka, dihukum penjara atau yang sejenisnya. Mereka hanya akan tertawa-tawa. Katakan kepada mereka bahwa mereka kemungkinan tidak akan mampu memuaskan pasangan seksual. Mungkin mereka malah lebih mendengarkan. Kebanyakan kaum dewasa muda menikmati seks dan ingin melakukannya dengan baik.
Pornografi bukan sekedar kerusakan suatu generasi karena menempatkan beban ekspektasi terkait performa dalam dunia nyata. Banyak remaja putri yang marah karena mereka harus melakukan dan terlihat seperti bintang-bintang porno.
Kaum pria pun banyak yang tidak sanggup. Mereka ketakutan bahwa jika mereka menyaksikan pornografi, maka mereka bisa menjadi agresor seksual.
Banyak wanita yang memandang seks pornografi itu melelahkan, kelamaan, dan terasa terlalu diatur. Sang wanita pun tidak mencapai klimaks. Sudah saatnya menyerukan “kita tidak perlu melakukannya seperti dalam pornografi”.
Yang terpenting, setidaknya untuk keadaan di Inggris, adalah agar menyampaikan pesan ini kepada anak-anak sebelum berusia 13 atau 14.
Sekarang ini, setidaknya untuk keadaan di Inggris, anak-anak sudah mulai rutin menonton pornografi pada usia 10 tahun.
Dan inilah yang paling mencengangkan. Panik urusan pornografi ini tidak selesai di ranjang, tapi karena kebosanan.
Setelah menikmati pornografi selama 3 atau 4 tahun, semuanya terasa tumpul, mudah ditebak, teratur, dan sangat dirancang. Kenyataannya, kebosanan inilah yang merisaukan para pecandu pornografi, bukan karena mereka merasa bersalah.