Liputan6.com, Jakarta - Jangan kaget kalau Anda sekarang berkunjung ke Sulawesi dan Papua. Setiba pesawat mendarat dan kapal merapat, bayangan penumpang akan kondisi bandara yang kusam atau pelabuhan yang jorok kini mulai sirna.
Dulu bandara atau pelabuhan di pelosok ada yang menyebut mirip bangunan inpres atau gudang logistik ketimbang infrastruktur (prasarana) publik vital. Kini perlahan namun pasti berubah, telah dibangun menjadi kompleks bangunan baru ataupun dipugar menjadi lebih modern.
Kalau sebelumnya hanya dinding bata tembok, kini berganti dengan dinding atau pilar gedung berlapis panel komposit. Kaca lebar ala gedung modern yang ramah lingkungan melengkapi bangunan tersebut.
Lantai keramik mengkilat, kamar kecil dengan wastafel minimalis, dilengkapi fasilitas pendukung seperti mesin sinar x pemeriksa barang melengkapi nuansa ruang tunggu yang lega. Sungguh modern dan tentunya bikin penumpang betah.
Baca Juga
Advertisement
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dijadwalkan akan meresmikan prasarana perhubungan yang megah berfasilitas lengkap pada Sabtu 30 Mei-Senin 2 Mei 2016.
Sebagai perwujudan program Nawacita, pembangunan prasarana transportasi udara dan laut memang menjadi garis depan konsep membangun Indonesia dari pinggiran.
Bahkan menjadi penggerak sosial-ekonomi di wilayah tapal batas seperti diamanatkan dalam sembilan misi utama Kabinet Kerja tersebut.
Dalam konteks pembangunan kawasan timur Indonesia, pembangunan infrastruktur perhubungan menjadi sangat vital dalam mendorong pembangunan dan pemerataan ekonomi dan pertumbuhan sosial yang lebih merata. Konsep inilah yang belakangan lebih dikenal sebagai pembangunan Indonesia Centris.
Bandara Domine Eduard Osok (DEO), Sorong, Provinsi Papua Barat bandara pertama yang akan diresmikan oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Demikian mengutip dari keterangan tertulis diterbitkan, Sabtu (30/4/2016).
Bandara terbesar dan paling sibuk di Semenanjung Kepala Burung tersebut merupakan pintu gerbang menuju wisata alam laut paling terkenal, Raja Ampat. Bandara internasional ini dilengkapi dengan garbarata maupun fixed bridge, untuk memberikan layanan terbaik bagi 9.000 pesawat per tahun (2014).
Dibangunnya bandara yang mengambil nama tokoh pahlawan asli Papua ini diharapkan pelayanan jasa transportasi udara di kota Sorong sekitarnya kian meningkat. Bandara ini melayani sekitar 500 ribu penumpang. Namun untuk arus barang rerata pertumbuhannya cukup pesat, sekitar 17,2 persen pada 2014 mencapai 3,06 juta barang per kilo kargo.
Selain Bandara Domine, ada juga pembangunan Bandara Mopah, Merauke, Papua. Bandara Mopah menjadi bukti lain dari realisasi prinsip dasar Nawacita, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus memperkuat daerah pelosok melalui penambahan kapasitas bandara.
Pengembangan runway lebih panjang dari bandara DEO yakni 2.500 x 30 meter. Apron maupun gedung terminal seluas 4.000 meter persegi menegaskan komitmen pemerintah dalam merajut kembali Indonesia.
Bukan membangun dengan orientasi kegiatan berpusat di Pulau Jawa, pemerintah justru mendorong pertumbuhan dari tapal batas paling timur sebagai bagian dari satu negara kesatuan Indonesia.
Selain itu, ada Bandara Djalaluddin, Gorontalo, Provinsi Gorontalo, pengembangan salah satu bandara terbesar di Indonesia Timur yang merupakan program jangka panjang. Untuk runway 2.500 x 45 meter masih akan diperpanjang menjadi 3.000 x 400 meter yang direncanakan rampung pada 2019.
Terminal Djalaluddin merupakan contoh pengembangan terminal bandara secara efektif. Gedung lama tetap dioptimalkan dengan fungsi berbeda, yakni sebagai embarkasi haji reguler dengan kapasitas 250 jemaah.
Resmikan Pelabuhan
Resmikan Pelabuhan
Kementerian Perhubungan tak hanya fokus membangun bandara, tapi juga prasarana perhubungan laut. Ini satu konsep besar Nawacita yang menjadi prioritas di sektor perhubungan laut adalah konsep jaringan trayek tol laut.
Ignasius Jonan meresmikan sejumlah pelabuhan di Sulawesi. Jonan meresmikan pelabuhan Tahuna di Sangihe, Sulawesi Utara; serta 12 pelabuhan lainnya termasuk pelabuhan Bungkutoko di Kendari.
"Dulu kapal laut rutin hanya dilayani oleh kapal penumpang berjadwal. Kini dengan strategi tol laut, transportasi kapal melayani dengan menyediakan kapal angkut barang berjadwal," kata Jonan.
Ia menambahkan, "Arus perdagangan barang yang sebelumnya tersendat kini dapat diangkut secara teratur. Dengan subsidi operasional dari pemerintah melalui Pelni sebagai operator, diharapkan disparitas harga barang yang selama ini terjadi di kawasan Indonesia Timur khususnya Papua dapat diminimalisir." (Ahm/Ndw)
Advertisement