Tanggapan Menko Darmin Soal Tuntutan Buruh pada Perayaan May Day

Menko Darmin Nasution memastikan pemerintah sangat peduli dengan buruh.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 01 Mei 2016, 17:02 WIB
Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI) melakukan aksi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (1/5). Dalam aksi MayDay 2016 mereka menuntut pemerintah untuk mengembalikan pengelolaan BUMN sesuai konstitusi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Perayaan Hari Buruh Internasional (May Day) menjadi momentum bagi para pekerja di Indonesia untuk menyuarakan berbagai tuntutan kepada pemerintah. Salah satunya kenaikan upah minimal ‎Rp 650 ribu pada tahun depan.

Namun pemerintah menegaskan bahwa tidak harus memenuhi tuntutan buruh tersebut karena mempertimbangkan jumlah pengangguran yang masih banyak.

"Hari Buruh kan mereka mulai me-list tuntutan. Kalau berjuang untuk upah ya silakan. Tapi kalau buruh menuntut sesuatu, kan tidak mesti harus diikuti," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution saat ditemui usai Pencacahan Sensus Ekonomi (SE) 2016 di rumah dinasnya, Jakarta, Minggu (1/5/2016).

Pemerintah, kata Darmin, sangat konsen dengan masalah perburuhan. Buktinya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun ‎2015 tentang Pengupahan yang dianggap menjadi win-win solution bagi pengusaha dan buruh.


"Pemerintah konsen soal buruh, tapi juga memikirkan orang yang belum bekerja dan yang ingin meningkatkan pekerjaannya. Jadi pemerintah dalam membuat kebijakan bukan cuma ngurusin yang sudah bekerja, karena pengangguran juga masih banyak. Kebijakan diambil dengan mempertimbangkan apakah itu malah akan menambah jumlah pengangguran atau sebaliknya," tegas Darmin.

Seperti diketahui, ada tiga tuntutan buruh pada Hari Buruh Internasional (May Day) ini, antara lain :

1. Mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Tolak upah murah dan menaikkan upah minimum 2017 sebesar Rp 650 ribu.

Menurut Said, pihaknya sedang melakukan judicial review di Mahkamah Agung (MA) supaya membatalkan PP 78/2015 tersebut. Dalam prosesnya, seharusnya PP ini dinilai tidak berlaku sampai keputusan in krah.

Karena aturan itu melanggar hak setiap warga negara Indonesia memperoleh kehidupan yang layak, menghapus hak negosiasi, perundingan, dan kebebasan berserikat bagi buruh untuk ikut menetapkan besaran upah minimum.

"Ini rezim upah murah. Jadi kita menuntut ada kenaikan upah minimum tahun depan sekitar 20-25 persen atau Rp 650 ribu per bulan untuk rata-rata se-Indonesia. Kalau pakai PP 78, naiknya cuma 9 persen atau Rp 200 ribu-Rp 250 ribu. Ini kan kecil sekali," tegasnya.  

2. Stop kriminalisasi-dan stop Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

"PHK masih mengancam buruh. Faktanya ada 2.600 buruh nelayan di Cirebon terancam kena PHK, di Jombang ada 6.000 buruh di PHK. Bahkan data kami total terjadi PHK 32.680 orang sepanjang Januari-Maret ini," terang Said.

3. Buruh menolak reklamasi Teluk Jakarta-tolak penggusuran yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Serta menolak Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). (Fik/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya