Liputan6.com, Jakarta - Salah satu negosiator yang ikut dalam pemulangan 10 warga negara Indonesia yang disandera oleh perompak di Filipina pimpinan Abu Sayyaf menganalogikan peristiwa tersebut sebagai "ulah nakal anggota keluarga."
"Intinya ini ada anak nakal dalam satu keluarga. Nah, bagaimana kita komunikasi dengan itu," kata negosiator Eddy Mulya sebagai Minister Counsellor, Koordinator Fungsi Politik dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila, Filipina, saat ditemui di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (2/5/2016).
Ia menekankan bahwa pembebasan 10 WNI tersebut murni atas hasil negosiasi tanpa adanya uang tebusan.
"Ini full negosiasi. Ada sahabat saya Pak Baidowi dengan teman-teman mereka yang atur, kita tindak lanjutnya," tutur Eddy.
Dia mengungkapkan bahwa pendekatan yang dilakukan lebih kepada hubungan antarpersonal yang sudah terjalin melalui kerjasama pendidikan.
Baca Juga
Advertisement
Dalam hubungan tersebut ada seseorang yang dituakan dan dihormati bersama sehingga menghasilkan perundingan pembebasan sandera 10 WNI.
Eddy tidak mau menyebut apabila negosiasi yang dilakukan berkaitan dengan adanya utang budi pihak penyandera dengan tim negosiasi yang dipimpin Baidowi.
"Kita nggak ada utang budi. Jangan berpikiran negatif. Kita kerja sama sesama umat Islam," jelas dia.
Dalam siaran pers yang diterima disebutkan bahwa pembebasan sandera dilakukan atas kerja Tim Kemanusiaan Surya Paloh yang merupakan sinergi gabungan jaringan pendidikan Yayasan Sukma atau Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, pimpinan Ahmad Baidowi.
Namun Eddy mengatakan dirinya tidak bisa menceritakan secara detil tentang proses penyanderaan hingga pembebasan 10 WNI yang merupakan anak buah kapal Brahma-12. Dia juga enggan menjawab pertanyaan apakah motif penyanderaan murni uang tebusan.
Sementara, menurut negosiator yang mewakili perusahaan, Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein
dirinya bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf sejak 27 Maret 2016. Sejak hari itu, kata Kivlan pihaknya terus melakukan pendekatan atas nama perusahaan PT Patria Maritime Lines. Kivlan juga mendapat bantuan dari pihak lokal di Filipina.
Terutama, kata Kivlan, bantuan itu diberikan oleh Gubernur Sulu Abdusakur Tan II yang merupakan keponakan pimpinan Moro National Liberation Front (MNLF) Nur Misuari. Bantuan itu sangat berguna karena penculiknya Al Habsyi Misa merupakan mantan supir dan pengawalnya saat menjadi Gubernur Otonomi Muslim in Mindanao atau ARMM pada 1996-2001.
"Maka, saya sebagai wakil perusahaan meminta bantuannya untuk membujuk sang penculik WNI, dan berhasil membujuknya," kata Kivlan.
Sementara itu, anggota Badan Intelijen Strategis (Bais) dan intel Filipina mendekati kepala desa, camat, wali kota dan gubernur Sulu untuk membujuk penculik. Mereka juga mengancam akan melakukan serangan militer dan pemboman kepada kelompik militan itu.
Dengan negosiasi dan tekanan itu, maka kelompok Abu Sayyaf melepaskan sandera WNI.