Drone Buatan LAPAN Siap Awasi Laut RI dari Pencuri Ikan

Drone ini dilengkapi sistem pengintai dan monitoring, sehingga bisa mengirimkan gambar kapal-kapal yang melakukan pencurian melalui radar.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 04 Mei 2016, 19:21 WIB
Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Gunawan Setyo Prabowo dengan LSU (kredit: Kemenrsitek DIKTI)

Liputan6.com, Jakarta - Pesawat nirawak atau lebih dikenal drone kini menjadi salah satu fenomena menarik di dunia penerbangan. Hal itu disebabkan teknologi dan pemanfaatan drone sebenarnya cukup luas.

Selain digunakan untuk kebutuhan mengambil gambar dari udara, drone juga dapat dimanfaatkan di bidang pertahanan. Salah satunya untuk memantau garis pantai, pencurian ikan, kebencanaan, hingga dijadikan senjata mutakhir di dunia militer.

Atas dasar itu, Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN akhirnya ikut terjun dalam pengembangan Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Kepala Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN Gunawan Setyo Prabowo menuturkan, pengembangan UAV dapat digunakan sebagai media pemantauan.

"Kemampuan UAV sebagai alat pemantau sangat berguna bagi LAPAN untuk mendukung fungsi remote sensing yang sudah cukup menonjol di LAPAN," ujar Gunawan, saat dihubungi tim Tekno Liputan6.com, Rabu (4/5/2016).

Salah satu bidang yang saat ini juga menjadi perhatian banyak pihak adalah masalah kemaritiman. Sejak pemerintahan Joko Widodo dimulai, pemerintah menggagas sebuah program Poros Maritim untuk memperkuat kedaulatan negara di wilayah perairan Indonesia.

Sejalan dengan gagasan tersebut, LAPAN pun ikut serta memperkuat program kemaritiman lewat drone buatannya yang diberi nama LAPAN Surveillance UAV (LSU).

Melalui program bernama Maritime Surveillance System, semua seri LSU buatan LAPAN akan digabung ke dalam sistem pemantauan selat dan kelautan, dan salah satunya adalah pengawasan pencurian ikan di perairan Indonesia.

Pesawat nirawak ini dilengkapi dengan sistem pengintai dan monitoring, sehingga bisa mengirimkan gambar kapal-kapal yang melakukan pencurian melalui radar. Nantinya, gambar-gambar tersebut dapat menjadi bukti kuat praktik pencurian ikan.

"Sayangnya penindakan secara hukum (berlangsung) lama. Padahal sudah ada bukti kuat gambar-gambar yang dikirim lewat pesawat LSU ini tentang aksi pencurian kapal," kata Gunawan.

Selain LSU, LAPAN juga mengembangkan pesawat serupa bernama Lapan Surveillance Aircraft (LSA). Sedikit berbeda dengan LSU, pesawat ini memiliki kemampuan pengambilan gambar lebih baik.

LSA memiliki kemampuan mengambil gambar dengan jarak sekitar 1.000 sampai 2.000 meter. Perolehan gambar yang diterima LSA juga lebih lengkap mulai dari aktivitas pencurian, nama kapal, nomor seri, hingga bendera kapal.


LSU Besutan LAPAN

Pengembangan LSU oleh Gunawan Setyo Prabowo dan tim LAPAN (sumber: Kemenristek DIKTI)

Gunawan menceritakan, saat ini sudah ada lima seri LSU yang dikembangkan LAPAN. Sementara, sudah ada tiga LSU--LSU 01,02, dan 03--yang sudah mulai difungsikan. Tak hanya berfungsi sebagai pemantau, masing-masing LSU tersebut juga digunakan untuk pemetaan resolusi tinggi, kebencanaan, termasuk pelatihan militer.

Tiap LSU juga memiliki spesifikasi berbeda-beda. Pesawat LSU 02 yang sebelumnya terbang 3,5 jam kini meningkat menjadi 5,5 jam. Sementara LSU 03 yang semula mampu terbang selama 4 jam, dapat ditingkatkan menjadi 6 jam.

"Tahun ini LSU 02 dan 03 akan disertifikasi untuk memenuhi Permenhub yang baru terkait UAV. Selain itu, juga untuk memenuhi aplikasi yang lebih luas," tutur Gunawan menanggapi pemanfaatan dari masing-masing LSU.

Bahkan, Gunawan menuturkan LSU 03 sudah didaftarkan sebagai paten dalam bentuk Desain Industri. Hal itu dilakukan karena LSU 03 dengan varian LSU New Generation (NG) sudah mulai diproduksi massal oleh UKM dalam program Hilirisasi.

"Selain itu, LSU 03 NG juga akan dioperasikan oleh Direktorat Topografi Tentara Nasional Indonesia (Dittop) Angkatan Darat untuk dipakai menjadi wahana patroli perbatasan di Kalimantan," kata Gunawan.

Gunawan juga mengungkapkan seluruh LSU yang dikembangkan LAPAN berasal dari komponen dalam negeri. Ia mengatakan pembuatan masing-masing tipe dari LSU membutuhkan waktu 2 hingga 3 tahun.

"Pekerjaan itu dimulai dari conceptual design sampai first flight," ujar pria yang menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada ini. Disinggung mengenai kendala selama pengembangan, Gunawan mengakui kekurangan alokasi perlindungan dan lokasi aman untuk melakukan uji terbang.

"Salah satu kendala lain yang masih dapat diatasi adalah kendala terbatasnya komponen, khususnya komponen RF yang memiliki standar dan kemampuan tinggi," kata Gunawan.

Meski demikian, LSU memiliki beberapa kelebihan lain. Salah satunya pesawat nirawak ini sangat ringan karena terbuat dari komposit berkualitas tinggi yakni sekitar 12 kg. Sebelumnya, LAPAN hanya berhasil membuat pesawat dengan bahan komposit lebih berat yakni 24 kg.

Tak hanya itu, pemakaian bahan bakar dari masing-masing LSU juga tidak banyak. Untuk menempuh jarak 10 km, LSU hanya membutuhkan 12 liter bahan bakar. 

LSU besutan LAPAN ini masuk dalam 20 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa yang dirilis Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti).

(Dam/Why)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya