Liputan6.com, Jakarta - Jajaran steering commitee (SC) atau panitia penyelenggara musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar, menggelar rapat pleno bersama komite pemilihan, komite verifikasi, komite etik, dan komite organisasi sore ini.
Satu poin yang akan dibahas dalam rapat ini, adalah terkait larangan mahar atau syarat uang Rp 1 miliar bagi bakal calon ketua umum (caketum) Golkar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Itu akan kami bahas dalam rapat pleno sore ini," ujar Sekretaris Panitia Pengarah Munaslub Agun Gunandjar Sudarsa di Kantor Dewan Perwakilan Pusat (DPP) Partai Glokar, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (5/5/2016).
Dalam rapat ini juga akan dilakukan tahapan verifikasi dan kelengkapan administrasi bakal calon, yang sudah mendaftar Rabu kemarin 4 Mei 2016.
Sejumlah persyaratan subjektif dan objektif juga akan dibahas dalam rapat itu. Syarat objektif adalah syarat dasar bakal calon yang harus dipenuhi, sesuai peraturan AD/ART partai.
"Kalau objektif itu syarat seperti komitmen tidak akan berpindah partai atau membentuk partai baru, lalu iuran caketum juga masuk di dalamnya," kata Agun.
Baca Juga
Advertisement
Larangan KPK
Dari 8 bakal calon yang telah mendaftar, ada 3 orang yang belum menyerahkan mahar Rp 1 miliar. Yakni Ketua DPR Ade Komaruddin, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan politikus senior Indra Bambang Utoyo.
Syahrul dan Indra dengan tegas menolak memberi mahar tersebut, karena tak sepakat bila uang tersebut menjadi patokan pemilihan ketua umum. Sedangkan, Ade Komaruddin masih menunggu verifikasi KPK, terkait boleh tidaknya mahar ini.
Panitia Munaslub Partai Golkar sebelumnya meminta fatwa ke KPK, ihwal iuran Rp 1 miliar bagi bakal calon. Menurut Wakil Ketua Komite Etik Munaslub Golkar Lawrence Siburian, pimpinan KPK melarang adanya iuran tersebut.
Sementara, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif pun membeberkan, alasan lembaganya melarang syarat iuran wajib senilai Rp 1 miliar karena rawan gratifikasi.
Laode menegaskan mahar Rp 1 miliar bagi calon ketua umum Golkar itu adalah politik uang yang nyata, sehingga tidak dapat dibenarkan.