Liputan6.com, Jambi - Tangisan bayi tiba-tiba memecah keheningan rimba belantara Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Sayup-sayup terdengar suara kaki mematah ranting berlari menjauh. Setelah Liputan6.com berlalu, tangisan bayi itu perlahan-lahan mereda.
Menti Ngalembo, salah seorang tokoh adat Orang Rimba, memberi tahu jika yang berlari tadi adalah seorang betina atau induk. Sebutan itu disematkan pada kaum perempuan Suku Anak Dalam (SAD), nama lain Orang Rimba Jambi.
Menurut Menti, perempuan itu sengaja berlari untuk menyembunyikan diri. Adat Orang Rimba memang melarang keras kaum betina bersentuhan dengan orang luar, walau sekadar mengambil foto. Denda adat menanti bagi para pelanggar. Bentuknya bisa membayar uang atau dengan kain.
"Di sini, betino rimbo ko (perempuan Rimba itu) dilindungi dewa kami," ujar Menti Ngalembo dengan logat Jambi kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Menti mengungkapkan posisi perempuan dalam kelompok Orang Rimba adalah perantara dewa. Apabila betina itu difoto atau digambar, dewa akan terbawa keluar oleh orang luar. Jika hal itu terjadi, Orang Rimba percaya akan datang bala atau bencana.
Sebagai perantara dewa pula, lanjut Menti, perempuan berperan penting dalam menjaga adat istiadat Orang Rimba. Dengan lisannya, ia mengajarkan aturan adat Orang Rimba pada keturunannya.
Orang Rimba pada dasarnya tidak mengenal budaya baca tulis. Maka itu, keberlangsungan hidup Orang Rimba bergantung pada lisan kaum betina.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi, seorang induk (ibu) Rimba yang nantinya mengajarkan aturan adat ini kepada anak-anak kami," ujar Tumenggung Maritoha, salah seorang pimpinan kelompok Orang Rimba.
Maritoha bahkan menyebut lestarinya kawasan TNBD hingga saat ini tidak terlepas dari peran perempuan Rimba. Setidaknya, meski statusnya taman nasional yang dikelilingi perkebunan swasta, Orang Rimba berhasil menjaga kelestarian TNBD dari tangan-tangan jahil.
Ada banyak aturan adat dalam kehidupan Orang Rimba. Mulai dari menanam pohon sebagai tanda kelahiran bayi, larangan menebang pohon, hingga aturan-aturan lain dalam keluarga atau pernikahan. Aturan itu menggambarkan kearifan lokal Orang Rimba Jambi kepada alam sekitar.
Salah satu pohon yang dilarang ditebang menurut adat Orang Rimba adalah Sialang Madu. Pohon tersebut dikenal sebagai sialang atau rumah madu karena dihuni banyak lebah hutan penghasil madu.
Selain diameternya lebar, pohon itu dikenal sangat tinggi yang bisa mencapai lebih dari 15 meter. Jika ada yang kedapatan menebang pohon tersebut, ia akan dikenakan denda 500 lembar kain atau setara lebih dari Rp 10 juta.
Kaum betina bahkan mengajarkan pendidikan pelestarian alam itu sejak dini, yakni dengan menandai setiap kelahiran anak Rimba dengan menanam pohon. Adat itu dipegang teguh hingga ajal menjemput. Pepohonan kembali menjadi penanda makam Orang Rimba agar mudah dikenali keluarga dan kerabat yang ditinggalkan.
Meski adat masih dipegang teguh, posisi perempuan Rimba kini berada di persimpangan. Sebagian Orang Rimba bersikukuh melarang kaum betina bersinggungan dengan dunia luar, sedangkan sebagian lainnya memberi ruang meski terbatas bagi perempuan untuk mengenal budaya asing.
Menurut Manajer Komunikasi KKI Warsi Rudi Syaf, perubahan sikap itu disebabkan interaksi sosial yang intensif terjadi antara Orang Rimba dan masyarakat umum. Utamanya pada mereka yang tinggal di pinggir hutan dan menetap di desa.
Interaksi itu mengubah sikap Orang Rimba yang awalnya menentang anak perempuan bersekolah menjadi boleh bersekolah. Hampir seluruh anak perempuan Rimba saat ini sudah menerima pendidikan tingkat sekolah dasar. Perubahan itu secara signifikan terjadi sejak 2008 lalu.
"Pada akhirnya, perubahan pasti akan terjadi. Yang penting, perubahan pada perempuan Rimba itu membawa ke arah perbaikan," kata Rudi.
Salah satu contoh perubahan baik yang terjadi adalah kemampuan kaum betina beradaptasi dengan dunia medis modern. Rudi menuturkan, dulu kaum betina sulit untuk dibawa ke rumah sakit dan diperiksa dokter yang kebetulan laki-laki. Kini, perempuan Rimba sudah mau diobati bahkan dioperasi, terutama jika penyakit berat diderita.
"Tapi, selagi masih bisa diatasi dengan cara sendiri, mereka coba atasi. Kalau sudah berat, baru (dibawa ke dokter)," ujar Rudi.
Rudi menegaskan, pendidikan bagi perempuan Rimba sangat mendesak untuk diberikan. Pengetahuan dasar yang diberikan bisa mencegah mereka menjadi korban eksploitasi orang-orang luar yang hendak mengambil untung dari habitat mereka di hutan. Tentu, pendidikan yang diberikan harus dimodifikasi sesuai dengan adat setempat.
"Orangtua kesulitan melepaskan anak perempuan mereka keluar dari hutan, sedangkan sekolah lanjutan, seperti SMP dan SMA itu berada di luar hutan. Mereka kan nggak mungkin jalan kaki dari rumah di dalam hutan bolak balik ke luar hutan setiap hari," kata Rudi.
Berdasarkan catatan dan pendataan KKI Warsi Jambi 2010 lalu, populasi Orang Rimba Jambi mencapai hampir 5.000 jiwa. Keberadaannya menyebar di beberapa kawasan hutan di daerah itu seperti TNBD (1.700 jiwa), Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) (500 jiwa) dan sebagian lainnya berada di sepanjang jalur lintas Sumatra sekitar 1.500 jiwa.
Menurut tradisi lisan, suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat (orang yang tersasar), yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi.
Orang Rimba yang hidup di kawasan Bukit Duabelas berdiam dan mengembara di hutan dataran rendah antara Sungai Batanghari dan Sungai Tembesi. Mereka hidup di antara anak sungai yang ada di kawasan Bukit Duabelas tersebut.