Liputan6.com, Bolivia - Mendaki adalah salah satu kegiatan yang dilakukan di alam bebas. Cuaca ekstrem yang cenderung berubah-ubah, membuat seorang pendaki harus mempersiapkan perlengkapan atau peralatan yang tepat. Seperti jaket gunung, kaos, celana panjang, dan celana pendek.
Namun apa yang dilakukan sekelompok wanita berusia 45 hingga 50 tahunan ini sungguh mengejutkan banyak orang. Mereka malah mengenakan pakaian tradisional Bolivia yang berwarna-warni, bawahan rok berlapis celana dengan tambahan syal rajutan yang berumbai-rumbai dililitkan
di punggungnya.
Hasilnya, mereka lebih terlihat seperti nenek-nenek yang sedang beraktivitas daripada sekumpulan pendaki yang berusaha menaklukkan Gunung Huayana Potosi di pinggiran La Paz, Bolivia yang memiliki ketinggian 19.974 kaki di atas permukaan laut.
Baca Juga
Advertisement
Pakaian yang dikenakan oleh para perempuan dari suku Indian Aymara ini dikenal dengan cholitas pacenas.
Seperti dilansir dari Theguardian.com, Selasa (10/5/2016), pakaian ini dulunya dilambangkan sebagai milik dari kelompok masyarakat Bolivia kelas bawah atau yang tersisihkan. Misalntya para kaum buruh.
Tapi kini pakaian tersebut mencerminkan keyakinan dan kekuatan sebuah negara, yang muncul dari kelas menengah.
Tugas utama para perempuan dari suku Indian Aymara sebenarnya adalah ibu rumah tangga. Kala sang suami tengah memandu para pendaki untuk naik ke atas gunung, para wanita sibuk menyiapkan makanan di base camp atau bekerja sebagai kuli panggul untuk mengangkut keperluan pendaki.
Namun, semua itu berubah ketika salah satu istri seorang pemandu Gunung Huayna Potosi merasa penasaran seperti apa rasanya berada di ketinggian.
"Apa yang kamu lakukan di sana, bagaimana rasanya?" tanya wanita tersebut kepada suaminya Eulalio Gonzales, seperti dilansir dari Oddity Central.com.
"Cari tahu sendiri," jawab suaminya.
Atas saran itulah yang membuat Lydia terinspirasi untuk mulai mengumpulkan 15 perempuan dari
sukunya yang rata-rata berusia 42 hingga 50 tahun yang berjumlah 15 orang untuk berangkat mendaki Gunung Huayna Potosi.
Dari sanalah petulangan para ibu rumah tangga ini dimulai. Seperti pendaki pada umumnya, peralatan seperti tali, harness, kapak es, crampon atau sepatu berduri untuk mendaki, dan kacamata selalu tersedia kemanapun para perempuan itu pergi.
Tantangan yang dihadapi memang sangat berat. Udara yang semakin tipis ketika langkah mereka mulai mendekati puncak gunung hingga rasa lapar yang terus mendera. Tapi itu tidak membuat para perempuan perkasa ini menyerah. Mereka putuskan untuk terus berjalan.
"Mendaki Huayna Potosi adalah pengalaman pertamaku. Aku menangis, tapi aku kuat. Aku bertekad untuk terus sampai ke puncak delapan gunung," kata Dora Magueno, salah satu pendaki yang berumur 50 tahun.
Setelah Huayna Potosi, para ibu dari suku Indian Aymara ini telah berhasil menaklukkan pegunungan Parinacota yang memiliki ketinggian 20.826 kaki atau sekitar 6347,7 meter, Pomarape 20.610 kaki atau sekitar 6281,9 meter, dan Illimani 21.122 kaki atau sekitar 6437.9 meter.
"Rasanya seperti tiba di surga ketika kami berhasil mencapai puncak Illimani," kata salah satu ibu.
"Awan yang berada di bawah kita, seolah-olah muncul dari gunung berapi.Saat itu kami bisa melihat segala sesuatu dari atas. Sangat sulit saat kami mendaki Illimani, tapi kami berhasil," lanjutnya.
Kini mimpi yang ingin dicapai para perempuan ini adalah bisa menancapkan bendera Bolivia pada puncak Aconcagua, yaitu gunung tertinggi Benua Amerika yang terletak di kisaran Gunung Andes, di Argentina, Provinsi Mendoza. Rencananya mereka akan mencoba tantangan tersebut di bulan ini.