Liputan6.com, Jakarta - "Ada suara yang tidak memerlukan kata kata....Yaitu keinginan untuk mendengarkan ...."
Begitulah sepenggal sajak dari Jalaluddin Rumi. Maksud dari pujangga berkebangsaan Persia yang hidup di abad ke 13 ini, sederhananya adalah kemampuan kita untuk mendengarkan suara hati. Itu memang hal paling sulit dilakukan.
Terutama bagi mereka yang memiliki ego tinggi, baik sedang terpuruk ataupun saat sedang dalam puncak sukses. Di dunia olahraga, hampir setiap pelakunya pasti berperang dengan yang namanya suara hati. Entah untuk mendengarkan atau untuk menentang suara hati tersebut.
Tanya kepada Claudio Ranieri yang baru saja sukses membawa Leicester City menjadi klub keenam, dan mungkin yang pertama mengejutkan menjadi juara Liga Primer.
Suara hati yang didengar dan diterima sanubarinya di musim panas 2015, saat menerima tawaran Vichai Srivaddhanaprabha, pebisnis asal Thailand yang juga CEO King Power Duty Free yang menguasai saham terbesar The Foxes.
Perang dalam diri The Tinker Man yang berniat tidak ingin mengurus sepakbola akibat baru saja gagal meracik timnas Yunani, di mana pelatih yang telah malang melintang menangani Chelsea, AS Roma, Internazionale, dan AS Monaco ini dianggap gagal dalam empat bulan kepelatihannya menangani timnas juara Euro 2004 ini, terbukti tangan dinginnya dan keinginan mendengarkan suara hatinya kali ini berhasil.
Salah satu kunci sukses Ranieri adalah belajar bersama musim berjalan. Dari target 40 poin semusim yang dipatoknya, dan berhasil diraih oleh Wes Morgan dan kawan-kawan hanya dalam setengah musim yang artinya mereka sudah aman dari degradasi sejak Januari, target meningkat menjadi 79 poin hingga akhir kompetisi.
Ketika ditanya apakah 79 poin itu berarti juara, The Pizza man hanya menjawab singkat bahwa itu artinya ada di empat besar.
Konsisten dan selalu bermain sebagai sebuah tim, raupan angka The Foxes baru mencapai 77 ketika mereka memastikan diri jadi juara Premier League 2015/16 dengan sisa dua laga. Dan mereka menutup musim ini di kandang sendiri, di King Power Stadium, dengan gaya sebuah tim pemenang.
Baca Juga
Advertisement
Diawali oleh perayaan khas Italia, lewat alunan suara Andrea Bocelli, dimeriahkan dua gol Jamie Vardy, yang membawanya untuk terus bersaing dengan Harry Kane dan Sergio Aguero sebagai top scorer, dan diakhiri dengan Wes Morgan menjadi kapten ke 13 dalam sejarah yang mengangkat trophy Premier League.
Kemenangan yang membawa pencapaian poin ke 80, yang artinya melebih target Ranieri dipertengahan musim.
Target dan gelar juara yang didapat lebih dari sekedar karena seteru-seteru mereka mengalami penurunan musim ini. The Foxes membuktikan semua pemain memberikan kontribusi masing masing.
Bukan saja Jamie Vardy dan Riyad Mahrez. Lini belakang yang membaik bersama berjalannya kompetisi dengan torehan 15 clean-sheet bagi Kasper Schmeichel.
Duet gelandang bertahan Daniel Drinkwater dan N’Golo Kante yang piawai, hingga Marc Albrighton di sisi kiri lapangan tengah dan Shinji Okazaki di depan yang tidak diperhitungkan, bisa jadi penentu kemenangan.
Sekarang persoalannya adalah bagaimana suara hati masing-masing individu penghuni King Power Stadium menghadapi musim depan?
Kancah Baru
Ada dunia anyar yang akan diarungi oleh setiap individu asuhan Ranieri, jika mereka tidak hengkang ke klub lain. Dengan keuangan dari hak siar premier league dan liga champion musim depan, pasti akan ada muka baru yang bisa jadi punya pengalaman di kancah terbaik antar klub Eropa didatangkan oleh Ranieri dan Vichai.
Tapi yang namanya Liga Champion, bagi klub rookie sering tidak nyaman. Lihat contoh, bagaimana Manchester City beberapa musim lalu selalu gagal lolos dari fase grup. Juga Montpellier yang jadi juara ligue 1 musim 2011/12, tapi hancur berantakan dengan hanya raupan 2 poin di liga champion musim berikutnya.
Liga Champion sekarang juga bukan Piala Champion seperti yang diarungi oleh Nottingham Forest usai jadi juara divisi utama liga Inggris musim 1976/77.
Dengan hanya juara liga yang bermain di kancah terbaik antar klub Eropa ketika itu, Forest melaju untuk jadi juara Eropa musim 1977/78, dan mempertahankan gelar musim berikutnya. Liga Champion yang sekarang lebih seperti yang dialami oleh Blackburn Rovers usai jadi juara Premier League musim 1994/95.
Sama seperti halnya Leicester City musim ini, anak asuhan Kenny Dalglish di musim 1994/95, dimudahkan dengan konsentrasi mereka terjaga hanya di Liga Primer. Klub yang di kenal dengan duet SAS-nya ini cepat tersingkir di piala liga, juga piala FA, dan hanya sampai putaran pertama Piala UEFA.
Karena itu, fokus mereka di Liga Primer membuat Alan Shearer dan kawan-kawan mampu menyaingi Manchester United, Nottingham Forest, dan Liverpool. Tapi musim berikutnya, bermain di empat kompetisi mereka berantakan.
Hanya meraih 4 poin di fase grup Liga Champion, Blackburn Rovers pun hanya menempati posisi ke 7 Liga Primer, dan gugur di putaran ke tiga Piala FA dan putaran keempat Piala Liga. Dengan tim yang tidak banyak mengalami perubahan dari tim juara musim sebelumnya.
Artinya, kesulitan utama Ranieri dan Vichai usai Euro 2016 nanti adalah mencegah suara hati pemain untuk bertahan. Juga jangan gegabah dalam pembelian pemain baru. Posisi jangkar terutama yang riskan, dengan N’Golo Kante sudah mengumumkan keinginannya untuk hengkang jauh sebelum mereka menjadi juara.
Dengan Pep Guardiola akan menangani Manchester City, Antonio Conte menukangi Chelsea serta Manchester United, Bayern Muenchen, Barcelona, dan Real Madrid ada di posisi terdepan dalam mengeluarkan fulus bagi scout dan agen pemain, tentunya sulit bagi Leicester bersaing merekrut punggawa baru.
Jadi mau tidak mau harus kembali pada suara hati para pemain, yang baru saja membuat kejutan musim ini. Mungkin akan menarik sejauh mana permainan kolektif ala soldier blue of King Power ini mencoba, setidaknya merepotkan The Elite of Europe musim depan. Mudah-mudahan suara hati itu kembali jadi pemenang. Atau setidaknya punya peluang untuk menang.