Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta waspada terkait dengan realisasi posisi utang yang mencapai Rp 3.271,82 triliun per Maret 2016. Negara ini diminta meningkatkan penerimaan negara dibanding kerap menerbitkan surat utang.
Pengamat Valas Farial Anwar meminta pemerintah mengendalikan utang yang kian membengkak akibat naik setiap tahunnya.
"Ini peringatan buat Indonesia jangan menerbitkan utang terus. Nilai Rp 3.271 triliun itu sudah mengerikan. Itu uang yang banyak sekali karena jumlahnya naik terus," jelas dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (12/5/2016).
Dari data Ditjen Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan menyebut, total utang pemerintah pusat mencapai Rp 3.271,82 triliun, naik Rp 75,21 triliun dari posisi Februari Rp 3.196,61 triliun. Sementara posisi di akhir 2015 mencapai Rp 3.098,64 triliun.
Dari Produk Domestik Bruto (PDB), rasio utang sebesar 26,7 persen-27 persen. Sedangkan ambang batas aman utang 60 persen terhadap PDB.
Namun Farial mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak pada rasio utang yang masih rendah dari PDB. Karena dilihat dari nilai utang sudah dalam kategori mengkhawatirkan. Kondisi demikian pernah dialami negara lain, seperti Yunani yang pernah menderita gagal bayar utang (default).
Baca Juga
Advertisement
"Kalau cuma main prosentase utang mah dianggap masih aman terus, jadi berutang terus. Dulu Yunani juga begitu, lihat rasio utang masih aman, tapi pas krisis tidak bisa bayar utang karena besar pasak daripada tiang," dia menjelaskan.
Parahnya lagi, kata Farial, pemerintah berutang dari mulai penerbitan surat utang, utang bilateral dan multilateral guna menambal atau membayar utang lama. Cara itu, dinilainya sebagai salah satu solusi instan membiayai defisit anggaran di saat penerimaan negara seret, sementara pengeluaran meningkat.
"Saya yakin kalau cuma mengandalkan penerimaan pajak, kita tidak akan bisa bayar utang. Jadi mau tidak mau, gali lubang tutup lubang dengan utang," dia memaparkan.
Menurut Farial, pemerintah perlu transparan kepada rakyat kemana utang-utang ribuan triliun rupiah itu mengalir. Apakah benar untuk membangun infrastruktur atau malah digunakan untuk pengeluaran rutin. Karena dia menyangsikan bahwa Indonesia ke depan sanggup mencicil atau melunasi utang.
"Ada tidak laporannya utang dipakai untuk apa, bangun proyek infrastruktur atau justru buat belanja rutin seperti dinas ke luar negeri. Kalau bukan produktif, utang ini bisa menjadi beban buat akan cucu kita. Jangan sampai orang bilang utang kita sudah masuk level bahaya, karena mungkin saja suatu saat kita tidak mampu bayar akibat pelemahan ekonomi dan penurunan pendapatan," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku, terjadi kenaikan utang pemerintah pusat setiap tahunnya.
"Memang pinjaman itu ada kenaikan dari tahun ke tahun. Tapi dari rasio terhadap PDB terbilang manageable karena masih sekitar 26 persen-27 persen," tegas Darmin.
Menurutnya, utang terbanyak bukan dalam bentuk valuta asing (valas) melainkan denominasi rupiah. Hanya saja, kepemilikan asing di portofolio Surat Utang Negara (SUN) mata uang rupiah cukup banyak.
Walaupun tergolong aman, diakui Darmin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar memperhatikan betul tingkat kemampuan bayar utang Indonesia. Kehati-hatian ini dilakukan supaya ruang fiskal di APBN tidak semakin sempit hanya untuk membayar tingkat bunga dan cicilan utang.
"Jadi Presiden minta dihitung (utang). Yang paling penting bunga dan cicilannya, berapa besar. Ini yang harus diperhatikan supaya tetap berada pada level aman karena dia (utang) makin lama bisa mengurangi ruang fiskal," tandas Darmin.(Fik/Nrm)