Liputan6.com, Jakarta - Dua polisi penjemput terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah Siyono diseret ke sidang etik di Mabes Polri sejak 19 April 2016. Keduanya diduga menyalahi prosedur penangkapan saat membawa Siyono. Sidang etik pun terus bergulir hingga Selasa 10 Mei 2016. Hasilnya, keduanya dipastikan dikeluarkan dari jajarannya.
AKBP T dan Ipda H 'ditendang' dari Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigjen Polisi Boy Rafli Amar mengungkapkan ini berdasarkan putusan sidang etik Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri yang digelar pada awal pekan ini. Pada sidang putusan tersebut, majelis etik menilai keduanya melanggar standar operasional prosedur (SOP) ketika menjemput Siyono.
"Terhadap AKBP T dan Ipda H sudah dijatuhi hukuman. Keduanya didemosi tidak percaya. Artinya, dipindahkan dari Densus 88 untuk ditugaskan di satuan kerja (satker) lain," ungkap Boy di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu 11 Mei 2016.
Menurut dia, majelis etik juga mewajibkan keduanya untuk menyampaikan permohonan maaf kepada institusi Polri. Untuk sementara, keduanya sudah menyampaikan permohonan maaf tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Dia menerangkan, AKBP T dan Ipda H nantinya dipindahkan selama kurang lebih 3-4 tahun ke satker di luar Densus. Namun, mantan Kapolda Banten ini belum mengungkapkan di mana keduanya ditempatkan.
"Untuk penugasan berikutnya, itu nanti melalui proses wanjak (dewan jabatan dan kepangkatan). Apakah ke staf, atau satker-satker lain, itu nanti kita tunggu. Akan lahir surat keputusan baru terhadap yang bersangkutan," terang Boy.
Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menyatakan sidang etik untuk anggota Densus 88 yang terlibat di kasus Siyono sedang dilakukan. Setidaknya ada dua kelalaian yang dilakukan anggotanya.
"Ada sidang disiplin karena kelalaian pertama, pengawalan hanya seorang. Kedua, membawa tersangka tidak diborgol," kata Barodin.
Dia mengakui adanya kesalahan prosedur saat operasi penangkapan Siyono.
"Memang terdapat beberapa kesalahan prosedur seperti pengawalan yang hanya dilakukan satu orang, sesuai protap kami hal tersebut tidak diperbolehkan. Lalu tidak diborgol, sehingga terjadi perkelahian antara Siyono dengan petugas yang mengawal," kata Badrodin.
Meski begitu, Badrodin bersikeras menyatakan kematian Siyono terjadi karena adanya pendarahan di selaput otak bagian belakang akibat perkelahian.