Liputan6.com, Semarang - "Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot Proklamasi
Sedia bekorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju...maju...ayo maju...maju
Ayo maju.....maju..."
Lirik lagu "Garuda Pancasila" sungguh lugas, patriotik, dan menggambarkan nasionalisme yang meluap. Lagu ini diciptakan tahun 1956. Hingga kini masuk daftar lagu wajib bagi anak-anak sekolah. Siapakah penggubah lagu yang mampu memantik rasa bangga pada Indonesia ini?
Penggubahnya adalah Sudharnoto, lelaki kelahiran Kendal, Jawa Tengah, 24 Oktober 1925. Laki-laki sederhana ini bernasib sama seperti banyak seniman kreatif saat itu. Ia menjadi tahanan politik pemerintahan Orde Baru karena dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Peminat sejarah Kota Semarang, Tjahjono Rahardjo, menyebutkan bahwa secara formal Sudharnoto mengenyam pendidikan tingkat dua di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Nalurinya sebagai seniman membawanya sebagai musikus daripada menjadi dokter. Ia bergabung dengan Orkes Hawaiian Indonesia Muda pimpinan Maladi.
Baca Juga
Advertisement
"Mengisi acara siaran RRI Sala. Sejak 1952, Sudharnoto bekerja di RRI Jakarta, dan menjadi pengisi acara tetap Hammond Organ Sudharnoto," kata Tjahjono, Kamis (12/5/2016).
Sebagai seniman yang sangat peduli rakyat, Sudharnoto memilih bergabung dengan Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat). Itulah sebabnya Sudharnoto diberhentikan dari RRI Jakarta pada 1965.
Penjelasan bahwa tidak ada hubungan apapun antara Lekra dan PKI tidak bisa diterima penguasa. Saat itu (tahun 60-an) ada upaya dari DN Aidit (Ketua Umum CC PKI) untuk memerahkan (mem-PKI-kan) Lekra. Namun upaya ini ditentang oleh Nyoto (Ketua III CC PKI).
"Argumen Nyoto, tidak semua anggota Lekra adalah kaum komunis. Karena gagal mem-PKI-kan Lekra inilah kemudian PKI membuat Konferensi Seni Sastra Revolusioner (KSSR) yang menjadi corong PKI di bidang kesenian," kata Tjahjono.
Pascaperistiwa 1965 Lekra dinyatakan sebagai organ PKI. Sejak itu seluruh anggota LEKRA dikejar, ditangkap, dan ditahan serta dibunuh tanpa pengadilan. Sudharnoto juga tak luput dari aksi ini. Ia pun dicap sebagai komunis dan ditahan di Salemba.
"Lepas dari tahanan, Sudharnoto menjadi penyalur es Petojo, Jakarta. Pada tahun 1969, ia beralih profesi menjadi sopir taksi sambil nyambi menjadi pemain organ di restoran LCC dan kemudian Shangrilla," kata Tjahjono. Dia menyebut pencipta lagu asal Kendal, Jawa Tengah, ini meninggal pada 2000 lalu.
Dalam berbagai literatur, selain menjadi komponis, Sudharnoto juga mengisi ilustrasi musik untuk film, antara lain Juara Sepatu Roda, Notaris Sulami, Baja Membara, Sayem, Di Ambang Fajar, Koboi Cilik, Anak Emas, Cintaku Tergadai, dan Kabut Sutra Ungu, yang memenangkan Piala Citra 1980 baginya.
Di antara tujuh kaset rekaman yang telah diselesaikannya berjudul Musik Nostalgia Mengenang Ismail Marzuki dan Hidup Indonesia.
Di antara lagu-lagu ciptaannya, "Bunga Sakura" (1942), "Mars Teruna Bangsa", "Kroncong Kewajiban Pemuda", "Pantai Selatan", "Gadis Gunung", "Harum Bunga di Waktu Malam", "Asmara Dewi", "Senja Buta", "Melati Pagi", "Asia-Afrika Bersatu", dan "Maju Sukarelawan".
"Garuda Pancasila" yang terkenal itu digubahnya tahun 1956. Ia juga menggubah beberapa lagu pop, antara lain "Di Tokyo Kita Kan Bertemu" dan "Setitik Kasih". Dengan nama samaran Damayanti, Sudharnoto juga pernah memenangkan sayembara penulisan lagu Mars Dharma Wanita.
Meski sama-sama diciptakan oleh seniman Lekra, garis nasib lagu "Genjer-genjer" tak sebaik lagu "Garuda Pancasila". Setelah sempat beredar tanpa pengawasan, lagu "Genjer-genjer" kini tak leluasa dinyanyikan.