Kolom: Adakah Cinta Fans Muenchen untuk Guardiola?

Simak ulasan Asep Ginanjar soal sulitnya Guardiola dapatkan cinta dari fans Muenchen.

oleh Liputan6 diperbarui 13 Mei 2016, 08:10 WIB
Kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Sungguh luar biasa sambutan publik sepak bola Jerman dan dunia ketika Josep Guardiola diperkenalkan sebagai pelatih Bayern Muenchen pada 26 Juni 2013. Jika biasanya perkenalan cukup digelar di Sabenerstrasse, markas Die Roten, kali itu Bayern terpaksa mengalihkannya ke Stadion Allianz Arena.

Baca Juga

  • Diminati Menpora, Mourinho Kebingungan Latih Tim Mana
  • Dilirik Menpora Latih Timnas, Begini Jawaban Mourinho
  • Kabar Gembira, Manor Racing Upgrade Mobil Rio Haryanto

Pasalnya ada 250 jurnalis yang hadir pada konferensi pers pertama Pep. Lalu, tak kurang dari 25.000 fans hadir untuk menyaksikan sesi latihan pertama Die Roten bersama Pep.

Dalam sejarah Bayern Muenchen, tak pernah ada antusiasme sebesar itu. Bahkan saat Franz Beckenbauer kembali turun gunung pasca pemecatan Otto Rehhagel pada 1996, hanya ada 100 jurnalis, 22 kru televisi, dan 1.000 fans yang hadir pada latihan perdana Bayern bersamanya di Sabenerstrasse.

Antusiasme yang begitu tinggi terhadap Pep adalah cermin dari ekspektasi yang juga luar biasa. Sebagai pelatih yang disebut-sebut terbaik di dunia, Pep diharapkan menjadikan Bayern klub terbaik.

Bukan hanya di Jerman, melainkan di Eropa dan dunia. Baik dalam hal permainan, maupun prestasi. Apalagi dia diwarisi tim yang baru saja meraih treble, tiga gelar dalam semusim.

Josep Guardiola (AFP/Matthias Balk)

Maka ketika Bayern untuk kali ketiga secara beruntun tersingkir di semifinal Liga Champions, 3 Mei silam, opini publik, tak terkecuali para fans Bayern, pun terbelah. Sebagian menilai Pep gagal, sebagian memandang Pep tetap sukses.

Bila ukurannya ekspektasi pada awal kedatangannya, Pep terhitung gagal. Ketidakmampuan memberikan gelar juara Liga Champions hanya satu di antaranya. Dia juga gagal mengorbitkan para talenta muda dari tim junior. Lalu, Pep tak menjadikan Bayern sebagai tim yang mematikan. Dominasi dalam permainan tak selalu mampu diwarnai hujan gol ke gawang lawan.

Akan tetapi, menilik perubahan gaya main yang dialami Bayern, deretan trofi, dan pelbagai rekor yang diukir dalam tiga musim ini, tidak adil mengatakan Pep gagal. Siapa pun sulit menampik bahwa Bayern di bawah arahan Pep mempertontonkan sepak bola yang lebih cantik dari sebelumnya.

Dua pemain Bayern Muenchen, Thomas Muller dan Philipp Lahm, terlihat kecewa setelah gagal lolos ke final Liga Champions meski menang 2-1 atas Atletico Madrid di Allianz Arena, Rabu dinihari WIB (4/5/2016). (Reuters / Kai Pfaffenbach Livepic)

Lalu, tiga kali beruntun menjuarai Bundesliga 1 adalah sejarah baru. Pep-lah pelatih asing pertama yang melakukan hal itu. Sebelumnya, prestasi tersebut hanya diukir dua pelatih lokal, Udo Lattek dan Ottmar Hitzfeld. Tambahan tiga gelar itu pun membawa Bayern mencetak rekor baru sebagai tim pertama yang menjuarai Bundesliga 1 sebanyak empat kali secara beruntun.

Atas dasar itu, sangat menarik untuk melihat sikap para fans Bayern dalam waktu sepekan ke depan. Akhir pekan ini, Pep akan menjalani laga terakhirnya di Bundesliga 1. Lalu, sepekan kemudian, Bayern akan berjibaku melawan Borussia Dortmund dalam laga final DFB Pokal.

Perpisahan Emosional

Bila Guardiola mendapat tempat istimewa, sangat mungkin dia mendapatkan perpisahan emosional. Itulah yang didapatkan Lattek, Hitzfeld, dan Jupp Heynckes.

Saat menjalani laga terakhirnya pada musim 1986-87, Lattek menjalani prosesi perpisahan istimewa. Setelah pertandingan, Lattek melemparkan sweater, kemeja, dan celana panjangnya ke arah para penonton.

Dengan memakai lederhosen, pakaian tradisional Bavaria, dia lantas melakukan honorary lap di atas traktor. Kabarnya, Bayern merogoh kocek 250 ribu Mark untuk biaya perpisahan itu.

Dua dekade berselang, tepatnya pada akhir musim 2007-08, perpisahan emosional dijalani Hitzfeld. Dia tak bisa menahan tangis ketika menerima karangan bunga dari Karl-Heinz Rummenigge.

Sementara itu applaus bergemuruh dari segenap penjuru stadion. Bahkan, para pemain Hertha BSC yang menjadi tamu Bayern kala itu, membentangkan banner yang antara lain bertuliskan "Servus Ottmar!".

Jupp Heynckes hanya semusim bersama Real Madrid dan meraih trofi Liga Champions musim 1997-1998. Setelah itu, Heynckes meraih treble bersama Bayern Munchen. (AFP/Christof Stache)

Lima tahun berselang, air mata juga menjadi kisah yang mewarnai perpisahan Heynckes. Bedanya, itu terjadi di ruang konferensi pers Borussia Park, kandang Borussia Munchengladbach. Heynckes tak kuasa menahan haru saat berbicara di hadapan para jurnalis. Menariknya, saat dia berhenti bicara demi menenangkan diri, para jurnalis justru memberikan applaus.

Heynckes saat itu memang mengundang empati banyak pihak. Di tengah perjalanan Bayern merebut treble winners, dia justru dinyatakan tak akan menangani tim untuk musim berikutnya. Sudah begitu, Heynckes tak dikabari soal pendekatan manajemen Die Roten kepada Pep Guardiola.

Akankah ada banyak banner ucapan terima kasih bagi Pep yang akan dibentangkan para fans Bayern, terutama di Sudkurve, tempat para ultras Bayern, saat menjamu Hannover 96, Sabtu (14/5/2016) nanti? Akankah ada suasana haru dan applaus dari seantero stadion ketika Pep menerima karangan bunga tanda perpisahan dari Rummenigge?


Tonggak Sejarah

Lothar Matthaus dalam kolomnya di Sport Bild menempatkan Guardiola di posisi ke-6 pelatih terbaik Bayern sepanjang masa. Adapun lima pelatih teratas adalah Heynckes, Lattek, Hitzfeld, Tschik Cajkovski, dan Dettmar Cramer.

Soal Guardiola, Matthaus menulis, "Walaupun gagal di Liga Champions, pelatih Spanyol ini sangat sukses di level nasional. Dia mengembangkan gaya bermain dan meningkatkan kemampuan individual para pemain. Tapi, cinta antara fans dan Guardiola tak pernah terbentuk."

Meski hanya berada di posisi ke-6, Guardiola tetaplah tonggak sejarah Bayern. Dialah pelatih yang membawa Die Roten mencetak rekor empat kali juara beruntun di Bundesliga 1. Itu menyejajarkan Pep dengan para pelatih di atasnya. Terutama Lattek, Hitzfeld dan Heynckes. Lattek adalah sosok yang pada 1987 membawa Bayern melewati 1.FC Nuernberg yang tercatat sembilan kali menjadi juara nasional.

Gelandang Muenchen, Xabi Alonso saat melakukan tendangan bebas pada pertandingan leg kedua semifinal Liga Champions di Allianz Arena (4/5). Meski kalah 2-1 dari Munchen, Atletico melaju ke final dengan aggregat gol tandang. (Reuters/Kai Pfaffenbach)

Hitzfeld lain lagi. Keberhasilan juara pada 2007-08 membuat Bayern menyabet bintang keempat sebagai tanda tim yang meraih Die Meisterschale sebanyak 20 kali. Bayern adalah tim pertama dan hingga sekarang satu-satunya yang berhak memasang empat bintang di atas logo di kostumnya.

Adapun Heynckes sudah jelas. Dialah pelatih pertama yang mempersembahkan tiga gelar dalam semusim bagi Die Roten. Bukan hanya bagi Bayern, treble winners juga adalah yang pertama dibukukan klub asal Jerman.

Satu hal yang menarik, ketiga pelatih itu sama-sama sempat mengalami hal tak menyenangkan. Lattek dan Heynckes sempat dipecat pada pertengah musim. Sementara itu, pada akhir 2003-04, kontrak Hitzfeld diputus. Itu semusim sebelum masa kontraknya berakhir.

Pelatih Bayern Munchen, Pep Guardiola, terpaku sedih setelah tersingkir dari ajang Liga Champions saat melawan Atletico Madrid pada semifinal Liga Champions di Stadion Allianz Arena, Munchen, Rabu (4/5/2016) dini hari WIB. (AFP/John Macdougall)

Meski demikian, ketiganya tak menyimpan dendam dan bersedia kembali ketika dibutuhkan oleh Bayern. Itulah yang menciptakan ikatan kuat antara mereka dengan para fans Bayern.

Dan ikatan itu pula yang membuat perpisahan mereka pada periode kedua sangat emosional. Ikatan emosional itulah yang menurut Matthäus tidak tercipta antara para fans Bayern dan Guardiola.

Mungkin Pep butuh periode kedua untuk benar-benar diakui sebagai salah satu pelatih terbaik dan legendaris Bayern. Mungkin pula hanya kesediaan kembali suatu saat kelak yang akan membuat dia mendapatkan cinta dari segenap fans Bayern, bukan sebagian saja.

*Penulis adalah kolumnis, komentator dan pengamat sepakbola. Tanggapi kolom ini @seppginz.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya