Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kesulitan memperkirakan potensi penerimaan pajak dari 1.038 orang-orang kaya Indonesia yang masuk dalam daftar Panama Papers. Alasannya, pemerintah perlu bekerja keras membongkar data Wajib Pajak (WP) tersebut untuk bisa menghitung pungutan pajak maupun potensi penerimaan negara.
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro usai menggelar Rapat Perdana Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) mengungkapkan, dari data 1.038 nama orang-orang kaya Indonesia yang termaktub di Panama Papers hanya mencakup nama, alamat, dan perusahaan.
"Data Panama kan cuma nama, alamat dan perusahaan. Kalaupun ada rekening perusahaan, tapi di Panama. Jadi untuk pajak hanya menjadi input. Tapi nanti kita konfirmasi dengan data yang kita miliki," ujar Menkeu di kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (13/5/2016).
Akibat keterbatasan informasi di Panama Papers, tentu Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu perlu mengidentifikasi dan melakukan pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi dalam data yang dibocorkan Firma Hukum Mossack Fonseca itu.
Dengan demikian, kata Bambang, pihaknya belum dapat menghitung potensi penerimaan pajak yang akan masuk setelah membongkar kasus Panama Papers. "Bagaimana bisa menghitung, wong tidak ada informasi apa-apa. Cuma nama, alamat," dia menjelaskan.
Baca Juga
Advertisement
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi sebelumnya mengatakan, Ditjen Pajak langsung bekerja menelusuri data sebanyak 1.038 WP dalam dokumen Firma Hukum Mossack Fonseca atau yang dikenal Panama Papers. Dari jumlah itu, DJP mengidentifikasi sebanyak 28 WP Badan Usaha dan 1.010 WP Orang Pribadi.
"Dari 1.038 nama itu, kita identifikasi dengan data yang kita punya sampai hari ini sebanyak 800 orang. Hasilnya 272 yang punya NPWP. Sedangkan sisanya kita sedang cari apakah miliki NPWP atau tidak," ujar dia.
Sementara untuk 238 nama lain yang masuk di Panama Papers, Ditjen Pajak akan merampungkan proses identifikasi sampai dengan akhir Mei 2016.
Identifikasi lainnya adalah data orang-orang Indonesia yang memiliki aset di luar negeri, termasuk di negara surga pajak sebanyak 6.500 nama. Data resmi ini berasal dari otoritas pajak negara anggota G20.
"Semuanya kita selesaikan akhir Mei ini, bukan cuma WP di Panama Papers, Offshore Leaks, tapi juga yang 6.500 nama. Makanya kita kerja keras sekarang ini," ujar dia.
Setelah selesai melakukan identifikasi, Ken mengakui, tahapan selanjutnya memeriksa Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak, apakah sudah sesuai dengan data DJP, terutama perusahaan cangkang yang dimiliki di luar negeri apakah sudah masuk di dalam SPT.
"Kalau sudah diperiksa dan ada utang pajak, ya harus dibayar dulu karena target DJP adalah kepatuhan dari orang-orang yang namanya masuk di Panama Papers," kata Ken.
Sayangnya, Ken mengaku belum mengetahui maupun menghitung potensi kurang bayar pajak maupun penerimaan pajak dari menguak data Panama Papers. Sebab, DJP perlu mengetahui terlebih dahulu subjek maupun objek pajak, baru bisa menentukan tarif pajak dan nilai setoran pajak.
"Data Panama Papers itu tidak jelas. Cuma ada nama, tapi tidak tahu objeknya. Jadi tidak bisa langsung dipajakin berapa," keluh dia.
DJP, Ken mengakui, kesulitan untuk mengidentifikasi WP Orang Pribadi dengan jenis kelamin wanita di data Panama Papers. DJP perlu mencari tahu nama sang suami karena NPWP istri melekat pada suami.
"Susah kalau yang di Panama Papers itu wanita yang notabene-nya seorang istri. Kita harus cari tahu suaminya siapa. Ini yang bikin kita kesulitan, tapi mudah-mudahan teman-teman di DJP bisa cepat menemukannya," harap Ken.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Puspita Wulandari menambahkan, DJP membutuhkan kerja keras untuk mencari data kependudukan, data jalan atau alamat perusahaan atau nama-nama WP di Panama Papers.
"Ketika di cross check di lapangan, kadang tidak sama atau sudah tidak ada. Ini tantangan kita karena standarisasi alamat kita butuh pembenahan. Beda dengan penelusuran di negara maju. Jadi objek dan subjek pajak harus jelas, sehingga bisa sampai hitungan besaran kurang bayar," ujar Puspita. (Fik/Nrm)