Liputan6.com, Jakarta - Tujuh sangkar burung tergantung di beranda rumah mungil 3x4 meter yang sudah tak jelas lagi warna catnya. Pengap, meski cahaya lampu cukup terang, dinding rumah yang sudah luntur dan lusuh itu membuat pantulan cahaya lambat diterima mata.
Sebuah sofa butut hitam dan berlubang di ujung kanannya, jadi perabot paling mewah di ruang tamu itu. Jarum jam dinding di ruang tamu itu menunjukkan angka 10. Cukup malam untuk bertamu.
"Masuk uda, sebentar saya bersih-bersih dulu," ujar lelaki tua itu mempersilakan masuk, ia berjalan pincang, kedua tangannya hanya tinggal tulang terbungkus kulit.
Dua buah combro yang tadi diapit lelaki itu dengan tangan kanan yang bengkok dan tulang jari yang hancur diletakkannya di atas meja kayu. Ia bergegas ke kamar mandi. Di atas meja tempat combro itu diletakkan tertulis "Sinshe Iwan, Obat Tiongkok Kuno".
Sekembalinya dari kamar mandi, wajah lelaki itu mulai jelas. Topi yang ia kenakan dibukanya. Bekas luka bakar di wajahnya terlihat.
Baca Juga
Advertisement
Mata pria itu mulai merah, berair. Sesekali ia mengusapnya dengan tangan yang sudah tak berbentuk sempurna.
Lelaki itu bernama Iwan Firman (56), tinggal sendiri di rumah yang dipagari besi, kawat berduri melingkar hingga ke atapnya.
Kami mulai berkenalan, saat menggenggam tangannya. Dingin langsung terasa, sebab hanya kulit tipis yang membalut tulang jemari tangan kanannya. Saya memilih duduk di pojok kanan sofa, agar lebih dekat ngobrol dengn Iwan.
"Pas di sini, duduknya kayak uda begini," ujar Iwan sembari menunjuk kursi yang saya duduki di ruang tamu sempit itu.
Iwan menunduk menyembunyikan air matanya, terdengar sesegukan serupa isak yang ditahan. Karena sisi sofa yang saya duduki adalah tempat favorit abangnya.
"Sudah setahun lewat empat hari, tak ada lagi orang yang mengunjungi saya," kata Iwan.
Tepat 10 Mei tahun lalu, abang Iwan dimakamkan. Dia meninggal dunia setelah koma beberapa bulan karena terjatuh di rumah.
"Cuma dia orang terakhir yang saya miliki, senasib sepenanggungan, pas kayak uda begini, kami cerita-cerita setiap malamnya," kenang Iwan. Air matanya mulai jatuh.
Iwan punya 12 saudara, tapi di antara mereka sudah ada yang meninggal dan berkeluarga, sudah lama saudara-saudara Iwan tak pernah lagi menjenguk. Apalagi istri dan dua orang anaknya, sudah 18 tahun Iwan tak melihat wajah mereka.
Perkara hari tua Iwan, tidak biasa. Ia disunyikan dari riuh ruang keluarga, disisihkan oleh nasib, diselimuti kesendirian setiap malamnya.
Mala Petaka Terjadi
Hari-hari sepi Iwan berawal sejak 14 Mei 1998. Ia sangat ingat Kamis sore itu, sebelum berakhir terasing di ramainya kawasan Stasiun Senen.
Iwan selamat dari maut saat kerusuhan rasial anti-Tionghoa pecah di Jakarta pada Mei 1998. Banyak warga etnis Tionghoa yang kala itu memilih meninggalkan Indonesia.
Sore itu, Iwan baru pulang dari Bekasi. Ia mengantar barang elektronik ke sana. Saat jalan pulang ke Jakarta, Iwan melihat mobil dan motor dibakar di tengah jalan, orang-orang menjarah semua tempat.
Di salah satu ruas jalan yang dilewati Iwan, ia melihat puluhan perempuan berbaris telanjang, mereka dikawal beberapa pria, semua perempuan itu berkulit oriental dan bermata sipit.
Iwan mulai tak tenang, beberapa kali ia coba dihentikan sekelompok orang. Tapi, dengan lincah Iwan mengelak.
Motor RX King Cobranya meliuk menghindari cengkraman massa yang beringas. Mereka berteriak, "Bakar itu Cina." Ingin selamat, Iwan semakin kencang mengemudikan motor.
Nahas. Iwan tertangkap, saat ia hendak menyeberang persimpangan di dekat Stasiun Senen menuju rumahnya. Padahal, jarak pagar rumahnya hanya tinggal beberapa puluh meter lagi. Iwan ditarik, ia dibekap dari belakang.
"Mereka berambut cepak, kayak tentara, mukulin saya pakai tangan kosong, saya ditendang, diinjak-injak," ujar Iwan sambil memegang perut dan dadanya.
Iwan melawan, namun kalah tenaga. Ia roboh. Dari hidung, telinga dan mulutnya terasa ada yang panas mengalir. "Saya pegang, ternyata darah semua. Saya cuma pasrah," ucap Iwan.
Pukulan berhenti, Iwan merasa lega. Dalam hatinya, Iwan bertanya-tanya ke mana para orang ramai yang memukulinya. Belum sempat duduk dengan benar, ia disiram cairan dingin. Bau cairan itu dikenal Iwan. Bensin!
Iwan melihat tangki motor RX King miliknya dicopot. Lalu, bensin dari tangki itu diguyurkan ke badannya. Iwan bingung dan cemas.
"Seseorang nyalain korek api, dan dilempar ke arah saya," kata Iwan.
"Saya pikir itu benar-benar akhir hidup saya," ucap Iwan.
Tuhan berkata lain, Iwan diselamatkan seseorang. Ia dilarikan ke ruang ICU Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Saat terjaga, Iwan meraung, ia merintih tapi tak sanggup meronta.
Ia melihat dengan jelas tulang tangan kanannya. Tubuhnya gosong, tangan kirinya patah tak mampu digerakkan. Kakinya sudah tak berasa.
"Yang nyelamatin itu Pak Haji Harun, rumahnya di Gang Kranjang, Poncol. Udah lama meninggal dunia," ujar Iwan.
Advertisement
Ditinggalkan Istri
Tiga bulan terbaring di ranjang pasien karena luka bakar yang parah. 85 persen tubuhnya hangus.
Pada bulan pertamanya Iwan heran, kenapa tak ada keluarga yang menjenguk. Orang-orang bilang, kerusuhan anti-China masih berlangsung. Bulan kedua, teman dan keluarganya mulai berdatangan. Situasi mulai aman.
Namun, istri dan anak-anaknya tak jua berkunjung. Iwan menitip pesan pada Satpam. Ia minta tolong menemui istrinya. Alamat rumah diberikan, sorenya si Satpam kembali ke ruang rawat Iwan. Ia bilang, Istri Iwan tak mau bertemu dan menjenguk.
Iwan mencoba menemui sang istri yang rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah kelahiran Iwan di Tanah Tinggi. Pertemuan tak bertatap wajah itu terjadi pada pertengahan 1998. Saat Iwan masih dirawat di Rumah Sakit, ia minta izin bertemu istri.
"Saya masih belum sembuh, tapi saya paksain ngetuk pintu rumahnya," ujar Iwan.
Istri Iwan bertanya, siapa yang mengetuk pintu rumah. Iwan menjawab, ingin bertemu anak-anaknya. Mendengar suara Iwan, istrinya marah dan berteriak dari balik pintu.
"Anjing tak perlu ke mari lagi. Kita sudah masing-masing," jawab istri Iwan kala itu.
Dia terkejut bukan main atas jawaban sang istri. Dia kembali menelan pil pahit ditinggalkan istri.
"Sakit dibakar, tangan patah, badan hancur ini bisa saya tahan. Tapi, jawaban istri saya itu sampai sekarang masih ngilu di hati," ujar dia menundukkan kepala, mengurut dada dan menatap sayu pada tangan dan kakinya.
Mencoba Bunuh Diri
"Habis dengar itu, saya balik ke rumah sakit. Minta dokter menyuntik mati saja," ucap Iwan.
Ia berkali-kali memohon ke dokter, agar disuntik mati. Ia merasa sudah tak lagi berguna. Untuk menyuap makanan dan cebok sendiri harus dibantu orang lain.
"Kenapa saya tak dibiarkan mati saja saat dibakar massa? Saya mohon sama dokternya untuk suntik mati saja," kata Iwan mengenang.
Dokter di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih tak menuruti permintaan Iwan. Setelah sembuh, Iwan pulang ke rumahnya di Tanah Tinggi, Senen. Rumah Iwan hanya berjarak 50 meter dari perlintasan rel kereta api.
"Saya coba bunuh diri 3 kali. Dua kali diselamatkan penjaga pintu rel, satu kali jarak kepala saya dengan roda kereta api cuma sejengkal dan lagi-lagi ia yang menyelamatkan," tutur Iwan.
Si penjaga pintu perlintasan kereta api itu, membangun semangat Iwan yang sudah koyak. Abdillah namanya, penjaga palang kereta api Pos Pintu No 31, Kembang Pacar, Pasar Gaplok, Senen. Sudah 3 kali Abdillah menggagalkan niat Iwan bunuh diri.
Abdillah sudah 3 tahun lalu meninggal. "Semoga Allah membalasi jasa baiknya," kenang Iwan.
Abdillah banyak membantu Iwan mulai dari menyuapi hingga menceboki Iwan yang saat itu tangannya masih menempel ke badan karena luka bakar yang parah.
Tak sampai di situ saja. Saat Iwan belum sembuh total, Ibunda Iwan ditabrak sepeda motor hingga akhirnya koma. Ia lumpuh selama 2 tahun dan kemudian meninggal. Ia hanya punya satu abang yang tinggal bersamanya dan juga telah meninggal.
Enam tahun sejak insiden nahas itu, Iwan tak mampu mengurus keperluan sendiri. Sebab tangan menempel ke dada karena luka bakar yang parah.
Pertolongan Megawati
Tahun 2004, Iwan memberanikan diri mendatangi rumah Megawati Soekarnoputri yang kala itu jadi Presiden Indonesia.
"Cuma butuh waktu 10 menit, Ibu Mega langsung menyambut saya di ruang tamunya. Ia menangis, tertunduk. Lalu memanggil dokter pribadinya buat meriksa saya," kenang Iwan.
Berkat bantuan Megawati, ia dapat menjalani operasi. Semua biaya ditanggung uang pribadi Megawati.
"Bukan uang negara, itu Ibu Mega yang bayar semua. Saya mengerti kalau politik itu memang kejam, saya buktinya," terang Iwan yang mengaku tak sekali jua disantuni negara.
Setelah menjalani berkali-kali operasi, daging betis Iwan dicangkok ke tangannya agar tulang tangan dan lengan tak terlihat lagi dan bisa dipisah dari dada.
Tangan kiri Iwan juga hancur, ada sayatan panjang dari siku hingga pergelangannya. "Ini masih pakai pen di dalamnya" kata Iwan.
Ia terus meringis jika tangannya kiri dan kanannya digerakkan. Meski sudah 18 tahun berlalu, jalan Iwan tetap pincang.
Tujuh buah foto terpaku di dinding ruangan 2x3 meter itu. Dua foto mengabadikan pertemuan Iwan dengan Megawati. Namun, sayang sudah lama ia tak bisa lagi bertemu.
"Pengawalnya sekarang enggak punya hati. Saya sudah minta bantuan teman buat bikin proposal untuk ketemu ibu Mega," keluh Iwan.
Advertisement
Ingin Bertemu Jokowi
Meski begitu, kisah pilu Iwan tak lagi membuatnya jatuh dan kesepian. Iwan mulai menikmati hari-harinya. Ia bekerja sebagai penjaga toko di Glodok, bekerja dari pagi hingga pukul 5 sore.
"Kemurahan hati teman-teman juga, saya dikasih ongkos dan uang makan, kalau hari Minggu libur," kata dia.
Iwan tak putus asa. Ada dua buah mimpi yang terus ia dulang dan dendangkan jelang tidur atau saat ia mulai sedih.
Mimpi pertamanya, Iwan sangat ingin bertemu dua orang anaknya. Dewi Mustika dan Yosua Santosa, darah dagingnya itu sudah 18 tahun tak dilihatnya.
"Terakhir saya nelpon ke nomor Dewi, diangkat sebentar. Ia nanya, ini siapa? Saya jawab ini Papa. Teleponnya langsung ditutup," ucap Iwan.
Ia mendengar kabar, putri sulungnya itu sudah tamat kuliah dan bekerja di salah satu agen perjalanan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. "Dia seusia sama uda," kata dia pada saya.
Sedangkan putranya sudah berusia 20 tahun. Namun, ia tak tahu apakah putranya tengah kuliah atau bekerja.
Mimpi terakhirnya, Iwan sungguh ingin bertemu Jokowi. Ia ingin bercerita, dan membuka mata Presiden Indonesia bahwa kerusuhan rasial 1998, tak boleh lagi terjadi. Ia korban nyata. Korban yang menanggung penderitaan hingga hayat berpisah dengan badan.
"Saya begini karena negara, harusnya negara bertanggung jawab," keluh Iwan.
Ia sudah bosan jadi tontonan, dari tahun ke tahun ia diwawancarai, masuk televisi, diumbar kesedihannya demi siaran. Iwan butuh kejelasan, tak lagi sekedar rasa kasihan. Ia semakin renta, tak punya siapa-siapa.
"Enggak ada perubahannya. Saya tetap gini aja. Kalau saja ada yang mau mempertemukan saya dengan Jokowi," ucap Iwan.