Liputan6.com, Jakarta - Lagi-lagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disorot atas laporan dana kunjungan kerja atau kunker di masa reses. Potensi kerugian negara akibat dugaan kunker fiktif itu diduga senilai Rp 945 miliar.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengaku tidak kaget dengan dugaan adanya kunker fiktif. Dia mengungkapkan modus itu acap kali dilakukan oleh para birokrasi Indonesia.
"Ini bukan barang baru, ini modus primitif sejak orde baru. Misalnya, ada PNS lakukan perjalanan 2 hari, dibuat 4 hari. Atau ada rombongan birokrasi, yang jalan cuma 2 orang tapi dibuat 5 orang. Jadi ini sejak lama dilakukan dan paling primitif," ujar Donal kepada Liputan6.com, Sabtu (18/5/2015).
Baca Juga
Advertisement
Hal ini, lanjut dia, bisa menjadi petunjuk awal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil langkah selanjutnya.
"Menurutku, itu petunjuk awal KPK. Dan KPK bisa menindaklanjuti," ucap Donal.
Menurut dia, problem utamanya ada pada dana untuk kunker yang masih bersifat lump sum atau pembayaran yang dilakukan sekaligus dengan dana besar dalam satu waktu saja.
"Memang, modus ini terlihat modus kecil, tapi anggarannya besar. Problemnya karena metode (pembayaran) reses berbentuk lump sum. Ini kan mudah sekali diselewengkan," jelas Donal.
Sebelumnya, dugaan ini terungkap saat Fraksi PDIP DPR meminta anggotanya membuat laporan hasil kunker dan kunjungan di masa reses.
Pada surat instruksi tersebut, disebutkan tentang temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menduga ada kunker fiktif dengan potensi kerugian negara lebih dari Rp 945 miliar.