Liputan6.com, Jakarta Dari 6.000 benda koleksi yang dipajang rapi dan dilengkapi dengan penjelasan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, di Museum Pusaka Nias, potongan kepala manusia (bukan hewan) yang masih menempel dengan bahu dan lengan kanannya paling menarik perhatian saya. Orang Nias menyebutnya 'Adu Mbinu' (patung kepala manusia).
Saat singgah di lokasi, tepatnya di Kota Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara, Kamis (5/5/2016), Hezatulo Nduru atau lebih dikenal Ama Elsa, sang kurator museum mengisahkan satu cerita ngeri kepada saya mengenai hal ini.
Advertisement
Adu mbinu (adu=patung, mbinu=kepala manusia) yang terdapat di Museum Pusaka Nias merupakan replika yang terbuat dari kayu. Patung ini diperoleh dari wilayah Nias Utara. Konon seperti itulah bentuk mbinu (kepala manusia) yang dipenggal. Yakni dipenggal dengan cara menyilang, hingga menyisakan bagian kepala dan satu lengan kanan.
Mereka yang kurang memahami budaya Nias secara lebih utuh, akan menganggap tradisi ini sebagai kebiadaban. Bisa jadi, juga muncul tuduhan yang menyebutkan bahwa orang Nias dulunya kanibal, sebagaimana diungkapkan Masashi (2005). "In the tenth century, Ajaib al-Hind described the people between Fansur (present day Barus) and Lambri and those in Kedah and the island of Nias as cannibals."
Dalam tradisi Nias, tidak ada budaya penggal kepala (manusia) yang dijalankan semua kalangan. Ini hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki derajat atau kasta yang tinggi serta memiliki kekuasaan dan kekayaan.
“Adalah seorang raja, bangsawan, kepala suku atau tetua adat yang akan meninggal, ia akan berpesan kepada anak dan keturunannya. Apabila meninggal nanti, ia ingin dikuburkan bersama 5 kepala, 8 kepala atau 10 kepala. Jumlahnya tergantung pada yang diminta. Dan ini wajib dipenuhi oleh anak dan keturunannya,“jelas kurator museum yang telah bekerja lebih dari 8 tahun ini.
Menurut sang kurator, dalam tradisi memburu kepala (mangai binu) semakin banyak kepala yang diminta, menandakan semakin tingginya kekuasaan serta kekayaan orang tersebut.
Untuk mendapatkan kepala manusia ini tentu tidak mudah. Tak semua orang bisa begitu saja memperolehnya. Hanya orang yang memiliki kesaktian tinggi yang dapat melakukannya. Karena taruhannya adalah nyawa. “Membunuh atau dibunuh”, tegasnya. Para pemburu kepala manusia ini oleh masyarakat Nias disebut “Emali”
Karena itu, untuk mendapatkan mbinu, para ahli waris atau keturunan meminta bantuan kepada para emali dengan bayaran yang sangat tinggi. Sehingga wajar jika hanya mereka yang kaya yang bisa menjalankannya.
Legenda Awuwukha
Legenda Awuwukha
Dalam sejarah lisan yang berkembang di Nias, tradisi mangai binu tidak dapat dipisahkan dari legenda Awuwukha, sosok manusia digdaya yang pernah hidup di Nias pertengahan abad ke-19 M. Kapan persisnya Awuwukha hidup, tidak jelas pastinya. Menurut Sonjaya (2008:63), Awuwukha hidup sekitar 5 generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) yang lalu.
Sementara menurut sejarawan lain, Thomsen, Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar 7 generasi yang lalu. Untuk membuktikan pendapat siapa yang lebih benar, perlu dilakukan pembuktian triangulasi atau mencari sumber pembanding lainnya yang dianggap lebih valid.
Sonjaya menceritakan faktor pencetus tradisi tersebut sebagai berikut. Kira-kira pertengahan abad ke-19, di Boronadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awuwukha. Suatu hari, datanglah seseorang dari Susua yang menyebarkan kabar bahwa di kampungnya akan diadakan sebuah pesta owasa yang cukup besar.
Ia berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan harapan akan banyak warga Boronadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika melewati rumah Awuwukha, si pembawa kabar tersebut terhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. "Hey, lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa teriak-teriak seperti itu?" teriak perempuan yang tiada lain adalah ibu Awuwukha.
Bagi orang Nias, itu termasuk ungkapan yang sangat mengejek. Karuan saja si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha hingga tiang rumah gempal. Orang itu melampiaskan kemarahannya dengan menunjukkan bahwa kemaluannya seharusnya tidak diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Boronadu.
Selang beberapa hari, ternyata lelaki tersebut datang lagi ke Boronadu dengan serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya. Rumah Awuwukha dan tujuh rumah saudaranya kemudian dibakar rombongan orang tersebut, termasuk lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Boronadu. Awuwukha hanya bisa berdiri mematung, terbelalak melihat kejadian tersebut.
Sambil menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun, di depan ibunya, Awuwukha bersumpah akan menuntut balas dengan cara memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk menuntut balas ke Susua.
Beberapa hari kemudian dengan langkah tenang Awuwukha pulang membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya hidup-hidup. Laimba sadar betul. Kejadian tersebut akan memicu pertumpahan darah lanjutan.
Terbukti. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya gagal. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh.
Kehebatan Awuwukha kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya itu kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Jika seseorang telah menunaikan owasa, setiap perkataannya dengan sendirinya menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.
Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan pada anak-anak dan seluruh anggota keluarganya. Jika ia meninggal, ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya kelak di alam kubur. Satu orang menyiapkan minum, satu orang menjaga, satu orang untuk menyiapkan makanan, satu orang membuat sirih pinang, dan satu orang sebagai tukang pijat.
Karena setiap perkataan Awuwukha adalah hukum, maka wajib bagi anak-anaknya untuk mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha. Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangani binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur.
Sejak kematian Awuwukha, dugaan Laimba tidak hanya sekadar kekhawatiran, tapi seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah kutukan. Sebab, mangai binu kemudian menjadi tradisi yang mengakar kuat di Nias.
Tak hanya untuk menghormati dan menyenangkan leluhurnya, tetapi kemudian juga dipraktikkan untuk kepentingan-kepentingan lain, misalnya membangun omo sebua (rumah bangsawan Nias). Sejarawan Yupiter Bago bahkan berkomentar, "produk budaya megalitik Nias justru lebih banyak ditopang oleh tradisi sawuyu dan binu, ketimbang tradisi gotong royong. Banyak omo sebua, misalnya, didirikan dengan tenaga sawuyu, menyembelih sawuyu, memenggal kepala tukangnya, bahkan menyajikan beberapa butir kepala (binu zimate) yang didapatkan lewat ekspedisi `moi badano` ke banua (kampung) lain."
Advertisement
Bentuk persembahan
Bentuk persembahan
Bahkan, tradisi mangani binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang akan meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelaku saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap berhasil melahirkan keturunan hebat. Kaitan antara kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi manguni binu di Nias.
“Setelah mendapat mandat, para emali ini pun akan bergerilya ke kampung-kampung untuk mencari mangsa. Siapa saja yang ditemuinya, akan dipenggal kepalanya, sekalipun orang itu tidak memiliki dosa,” terang Ama Elsa membuat bulu kuduk saya bergidik. “Sadis betul” gumamku.
Setelah berhasil, mereka akan pulang dengan membawa hasil tangkapan dengan menenteng potongan kepala di pundak. ‘Hasil tangkapan’ diletakkan di bahu para emali, sambil memegang tangan kanan korban. Yang menjadi sasaran perburuan kepala manusia adalah para budak, penduduk kampung yang secara pertahanan lemah. Korbannya bisa anak-anak maupun orang dewasa, tergantung pesanan.
Ritus mengerikan ini tentu sudah tidak ada lagi di masyarakat Nias, saat ini. Sejak kedatangan para misionaris Katolik dan Kristen di Tano Niha (tanah Nias) ratusan tahun yang lalu, para misionaris yang rata-rata berasal dari negara Jerman dan Belanda ini memberi kesadaran kepada masyarakat untuk tidak lagi melakukan perbuatan biadab ini.
Sejak itulah ritus ngayau (perburuan kepala manusia) ini dilarang dan menghilang dari budaya leluhur Ono Niha (orang Nias). Namun demikian kisahnya tetap melegenda dan menarik untuk diketahui sebagai bagian dari kekayaaan budaya masyarakat Nias.
Kisah ini pula salah satu dari sekian banyak cerita sejarah yang terkandung dalam setiap benda-benda koleksi museum yang terus dipelihara oleh Museum Pusaka Nias hingga saat ini, sebagai bentuk pelestarian budaya Tanah Nias.