Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Menurut Prasetyo, putusan ini merupakan suatu kemunduran dalam penegakan hukum.
"Keputusan yang sungguh memprihatinkan dari sisi mencari keseimbangan dalam upaya mewujudkan kebenaran dan keadilan," kata Prasetyo saat dihubungi di Jakarta, Senin (16/5/2016).
Putusan MK ini menurut dia tidak memberikan kesempatan bagi korban kejahatan untuk mencari keadilan, karena dalam melaksanakan tugasnya jaksa tak hanya mewakili kepentingan korban, melainkan juga kepentingan masyarakat dan negara.
"Tindak pidana korupsi yang dirugikan bukan hanya keuangan negara, tetapi di dalamnya juga ada rakyat. Karena tindak pidana korupsi sebenarnyalah telah merampas hak kehidupan ekonomi dan sosial dari rakyat," tegas Prasetyo.
Baca Juga
Advertisement
Sebelumnya, polemik boleh atau tidaknya jaksa mengajukan PK berakhir di ujung palu MK. Lewat uji materi Pasal 263 ayat (1) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai Rp 904 miliar. MK menyatakan jaksa tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.
"Mengabulkan permohonan Pemohon, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit (tegas) tersurat dalam norma a quo," ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Kamis 12 Mei lalu.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung."