Liputan6.com, Jakarta Indonesia banyak pinang? Itu hipotesis mentah saya. Ikhwalnya sederhana, saya merasa terlalu banyak nama daerah, tempat, bahkan nama jalan yang menyertakan nama “pinang” di dalamnya.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai orang Jakarta, setidaknya saya dapat menemukan beberapa nama tempat menggunakan kata “pinang”, antara lain Pondok Pinang, Pinang Ranti, dan Pinangsia. Selain itu ada Jalan Pinang Raya di bilangan Pondok Labu, Jalan Pinang di daerah Jakarta Timur, serta Jalan Pinang Emas dan Jalan Pinang Merah yang keduanya berada di Pondok Indah.
Sangat mungkin masih ada nama tempat menggunakan nama “pinang” di Jakarta. Maklum, pengetahuan saya soal jalan lumayan minim.
Di luar Jakarta, saya mencatat beberapa nama tempat menggunakan nama “pinang”. Sebut saja Kecamatan Pinang (Tangerang), Tanjungpinang (Riau), Teluk Pinang di Kecamatan Gaung Anak Serka (Riau), Pangkal Pinang dan Tanjung Pinang (Bangka Belitung), dan Kecamatan Sungai Pinang (Sumatera Selatan).
Itu baru nama tempat. Ternyata pinang juga merambah ranah kognisi masyarakat yang terwujud dalam ungkapan dan peribahasa, misalnya saja pinang muda yang bermakna ‘perempuan jalang’, bagai pinang dibelah dua yang bermakna ‘sangat mirip, serupa’, pinang tua merah ekor artinya ‘perempuan tua tapi berkelakuan seperti gadis muda’, serta bagai pinang sebatang yang artinya ‘orang yang tiada bersana saudara’.
Selain itu, masih ada peribahasa seperti pinang pulang ke tampuknya yang artinya ‘sudah cocok benar’; dan darah setampuk pinang yang berarti ‘seseorang yang masih muda yang belum punya banyak pengalaman’.
Pinang, pinang, dan pinang. Mengapa buah ini sangat sering digunakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia?
Kebetulan?
Lalu apakah ini sebuah kebetulan? Sebelum membahasnya, tampaknya kita perlu menilik sebuah buku yang ditulis dengan sangat menarik oleh Claire Kramsch berjudul Language and Culture (2003). Kramsch melihat adanya hubungan yang erat antara bahasa, budaya, dan alam.
Menurut dia, kata-kata yang diujarkan masyarakat mengacu pada pengalaman bersama (the words people utter refer to common experience). Dengan demikian, kata-kata apa pun yang ada di dalam masyarakat mencerminkan pengetahuan-pengetahuan (stock of knowledge) tentang dunia yang dibagikan orang dalam kelompoknya. Bahasa kemudian akan mengekspresikan realitas kultural—termasuk alam—di dalamnya.
Contoh sederhana bahasa mencerminkan kebudayaan dan alam sebuah masyarakat penutur ada dalam nasi. Masyarakat pengonsumsi nasi seperti Indonesia mengenal cukup banyak istilah yang terkait nasi. Misalnya, padi, gabah, beras, nasi, dan bubur. Dalam bahasa Inggris, hanya ada rice untuk mengacu pada semua bentuk dan varian nasi.
Contoh lain, orang Eskimo di Kutub Utara mempunyai 30 istilah berbeda tentang salju, sementara orang Indonesia hanya memiliki satu istilah saja: salju. Ini membuktikan bahwa kondisi alam dan lingkungan turut menentukan hal ini.
Lingkungan alam yang dikelilingi salju membuat manusia di Kutub Utara banyak berinteraksi dengan salju hingga mempengaruhi kebudayaan dan cara mereka bertahan hidup. Ini tentu berbeda dengan Indonesia, di mana nyaris tidak ada ditemukan salju, kecuali di puncak-puncak gunung tertinggi.
Mari kita kembali ke pinang. Tenyata, pinang bukanlah tanaman asing bagi masyarakat Indonesia. Pinang adalah tumbuhan tropis yang ditanam untuk mendapatkan buah dan keindahannya sebagai hiasan taman.
Pinang yang bernama latin Areca catechu ini adalah sejenis palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia, dan Afrika bagian timur (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Pinang termasuk jenis tanaman yang sudah dikenal luas di masyarakat karena secara alami penyebarannya cukup luas di berbagai daerah.
Biji pinang bahkan telah dimanfaatkan sejak ratusan tahun lalu untuk menyirih atau menginang di Indonesia. Budaya mengonsumsi pinang ditemukan pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur, Jawa, Kalimantan, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, bahkan Papua (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol 34 Nomor 1, 2012).
Tidak asingnya tanaman pinang di Indonesia secara tidak langsung berpengaruh pada kognisi masyarakat penuturnya. Secara tidak sadar masyarakat kita menamai sesuatu dengan kata pinang, atau mengumpamakan sesuatu dengan pinang.
Lalu bagaimana dengan panjat pinang? Apakah perlombaan tujuh belasan khas Indonesia ini ada hubungannya dengan pembahasan kita di atas? Saya kira bisa jadi.
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6