Liputan6.com, Cilegon - Brigjen KH Syam'un yang ikut serta berjuang merebut kemerdekaan Indonesia hingga kini belum juga mendapatkan gelar pahlawan nasional. Pemerintah Provinsi Banten bahkan telah berkali-kali mengajukan kepada pemerintah pusat, tapi belum berhasil mengegolkan keinginan warga Banten itu.
"KH Syam'un semasa kecil lahir sebagai pemberontak terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Karena KH Syam'un merupakan seorang tokoh yang lahir dari kalangan ulama yang sangat menentang kolonial Belanda," ucap Ketua Majelis Syuro Pengurus Besar Al-Khairiyah, Chatib Rasyid, saat acara Hari Lahir (Harlah) ke-91 Al-Khairiyah di Kota Cilegon, Banten, Rabu, 18 Mei 2016.
Atas dasar itulah, menurut Rasyid, KH Syam'un layak mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional.
Tak hanya itu, kata Rasyid, para santri maupun pelajar Pondok Pesantren dan Pendidik Al-Khairiyah yang didirikan langsung Brigjen KH Syam'un, turut berjuang semasa penjajahan Belanda dan pendudukan militer Jepang. Mereka turut serta berjuang merebut kemerdekaan Indonesia.
"Brigjen KH Syam'un sudah pantas dan layak mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional, baik dari segi pengajar, pendiri perguruan, ulama, mubalig dan pejuang melawan penjajah Belanda," ujar Rasyid.
Baca Juga
Advertisement
Meski telah berkali-kali gagal menyematkan gelar Pahlawan Nasional kepada Brigjen KH Syam'un yang kini menjadi nama jalan protokol di Kota Serang, Pemprov Banten pun terus berupaya memperjuangkannya kepada Kementerian Sosial. Terutama, terus melakukan penelitian sejarah.
"Kami terus berupaya mendorong ke Kementerian Sosial agar Brigjen KH Syam'un mendapatkan gelar pahlawan nasional," kata Staf Ahli Bidang Hukum Pemprov Banten, Komari.
Ulama Patriotik
Berdasarkan informasi yang dihimpun Liputan6.com, Brigjen KH Syam'un adalah pendiri Perguruan Tinggi Islam Al-Khairiyah Citangkil, Kota Cilegon. Ia lahir pada 5 April 1894 dari pasangan H Alwiyan dan Hajah Hajar. Syam'un masih keturunan dari KH Wasid tokoh 'Geger Cilegon' 1888 yang berjuang melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Syam'un dalam usia 11 tahun melanjutkan studi ke Mekah, Arab Saudi, pada 1905-1910. Ia berguru di Masjidil Haram, tempat para ahli agama Islam terbaik di dunia berkumpul membagi ilmu. Selanjutnya, Syam'un menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, tahun 1910-1915.
Semasa hidupnya, KH Syam'un pernah bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), gerakan pemuda bentukan Jepang. Dalam PETA, jabatan KH Syam'un adalah Dai Dan Tyo yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA wilayah Serang.
Selama menjadi Dai Dan Tyo, KH Syam'un kerap mengajak anak buahnya untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang. Keterlibatan KH Syam'un dalam dunia militer mengantarkan dirinya sebagai pimpinan Brigade I Tirtayasa Badan Keamanan Rakyat (BKR) -- berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian disebut TNI Divisi Siliwangi.
Dengan pangkat terakhir brigadir jenderal, karier KH Syam'un terbilang gemilang hingga diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-1949. Namun pada tahun 1948, meletus Agresi Militer Belanda II. Serangan Belanda ini mengharuskan KH Syam'un bergerilya dari Gunung Karang, Kabupaten Pandeglang hingga Kampung Kamasan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang.
Daerah ini menjadi tempat tinggal salah satu gurunya KH Jasim. Di kampung itu pula, Brigjen KH Syam'un meninggal dunia pada tahun 1949. Ia jatuh sakit saat memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan.
Advertisement