Liputan6.com, Washington D.C- Pemerintah Amerika Serikat melalui badan intelijennya mengungkap adanya hacker yang kini tengah berupaya untuk menggali informasi terkait latar belakang dan agenda para bakal calon presiden AS dengan cara menggunakan teknologi.
Para peretas diduga bekerja untuk sejumlah pemerintah negara lain. Menyikapi hal tersebut, para pejabat pemerintahan AS bersikeras untuk meningkatkan kerjasama dengan pihak penyelenggara kampanye untuk setiap kandidat agar kecemasan di tengah pemilu ini dapat teratasi dengan baik.
Baca Juga
Advertisement
“Kami telah menemukan beberapa indikasi kuat terkait adanya upaya untuk meretas informasi para kandidat dengan menggunakan kekuatan digital,” Kata James Clapper, Kepala Badan Intelijen Nasional AS di Washington, mengutip The Guardian, Kamis (19/5/2016).
Ia menjelaskan bahwa kini FBI bersama dengan Department of Homeland Security tengah mengedukasi para penyelenggara kampanye cara untuk memastikan bahwa para kandidat tidak menjadi korban cyber-security dan untuk pencegahan di kemudian hari.
Penjelasan tersebut kemudian diklarifikasi oleh Brian P. Hale, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat untuk Badan Intelijen Nasional AS.
“Kami menyadari bahwa sejumlah pihak yang bersangkutan dalam keberlangsungan pemilu AS seperti tim kampanye, organisasi tertentu dan beberapa individu telah menjadi sasaran empuk bagi orang-orang tertentu yang termotivasi oleh beragam macam alasan,” jelasnya.
Ia lalu menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan wewenang kepada FBI untuk menangani isu ini.
Trauma Masa Lalu
Kecemasan tersebut memuncak tidak lama setelah Badan Intelijen AS merilis sebuah dokumen pada awal bulan Mei ini yang menyatakan bahwa siklus pemilu tahun 2008 lalu telah dilacak oleh pihak intelijen asing.
“Delapan tahun yang lalu pihak intelijen asing bertemu dengan pihak penyelenggara kampanye termasuk staf, memanipulasi mereka untuk mendapatkan informasi terkait kebijakan para kandidat, menggunakan teknologi untuk meretas sejumlah data yang dinyatakan sensitif dan pura-pura berpartisipasi dalam kegiatan di level manajemen untuk mempengaruhi perancangan kebijakan sesuai dengan kemauan mereka,” demikian pernyataan dalam dokumen tersebut, seperti dimuat oleh English News.
Walaupun kecemasan tersebut cenderung dipicu oleh trauma akan keberhasilan para peretas di pemilu sebelumnya, Jonathan Lampe dari InfoSec Institute, sebuah perusahaan untuk keamanan informasi sensitif merasa kemungkinannya justru jauh lebih besar untuk para kandidat bakal calon presiden AS di pemilu kali ini.
“Keamanan digital atau teknologi tidak pasti karena sistemnya belum diperbaiki secara maksimal,” ungkapnya.
Terlebih, keberadaan kelompok peretas aktivis di dunia maya yang dewasa ini dikenal sebagai ‘Anonymous’, beserta aksinya untuk mengancam kandidat dari partai Republik, Donald Trump memperkuat dugaan adanya upaya peretas asing yang ingin mengulik informasi setiap petarung di pemilu AS kali ini.