Liputan6.com, Jakarta Pangeran Diponegoro adalah salah satu musuh Belanda yang paling sulit ditaklukkan. Perlawanannya selama lima tahun (1825-1830) begitu merepotkan dan bahkan membuat keuangan pemerintah kolonial kolaps.
De Steurs mencatat di pihak Belanda jatuh korban berupa 12.749 serdadu yang meninggal di rumah sakit serta 15.000 orang yang tewas dan hilang dalam pertempuran. Sekitar 8000 di antaranya adalah tentara yang langsung didatangkan dari Belanda.
Perang ini juga berbiaya besar. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan uang f.5.000.000 (lima juta gulden) setiap tahun. Biaya paling besar adalah untuk bahan makanan dan upah pegawai.
Karena begitu besarnya pengeluaran, Komisaris Jenderal De Bus de Gisignies menekan Jenderal De Kock agar melakukan penghematan dan segera menyelesaikan perang. Sebab, pada saat itu pemerintah Hindia Belanda sudah defisit f. 18.000.000 (18 juta gulden). Menanggapi tekanan Du Bus, De Kock seperti dicatat E.S de Klerk menjawab:
“Bahwa kami berperang ini tidak hanya melawan pemberontak, akan tetapi melawan seluruh rakyat yang jumlahnya dua juta.”
Pemberontakan Diponegoro yang oleh sejarawan Belanda disebut Java Oorlog (Perang Jawa) adalah perang yang melelahkan kedua belah pihak. Perlawanan orang Jawa kemudian diakui sangat mengagumkan.
Baca Juga
Advertisement
Prajurit Jawa yang secara sepintas dan lahiriah tampak bodoh dan pemalas terbukti adalah prajurit yang pemberani, ulet, dan tangguh dalam berperang. Prajurit Diponegoro tidak merasa sulit untuk masuk ke dalam hutan dan bertahan dengan makanan seadanya. Namun bagi pasukan De Kock, mereka terbukti tidak tahan terhadap penyakit tropis, seperti malaria, dan tidak mengenal medan berupa hutan dan pegunungan sebaik prajurit Diponegoro.
Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford yang telah meneliti Diponegoro lebih dari 30 tahun, mengatakan bahwa catatan panglima Belanda dan Jerman menunjukkan Diponegoro berperawakan sedang, agak gempal, dan cukup kharismatik. Diponegoro sendiri, katanya kepada Liputan6.com pada Rabu, 18 Mei 2016, bukanlah seseorang yang jenius dan ahli strategi perang yang baik. “Namun ia terbukti sangat tangguh dan bermental kuat,” ujarnya.
Benteng Stelstel
Pemerintah Hindia Belanda sangat sadar bahwa Perang Jawa hanya akan berhasil ditumpas bila mereka berhasil menangkap Diponegoro. Namun, serangan mereka ke Desa Jekso pada Juli 1826 terbukti gagal. Diponegoro telah meninggalkan desa ini begitu pasukan De Kock datang atas informasi seorang mata-mata.
Dalam perang selama 1825-1830 Pangeran Diponegoro mengandalkan strategi keunggulan jumlah (superior in numbers) dengan taktik ofensif. Namun setelah pertempuran di Gawok 1826, nyata strategi ini tak dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Jenderal De Kock mengunggulkan strategi mobilitas dengan mengandalkan pengejaran karena jumlah tentaranya yang terbatas. Namun, taktik ini terbukti berakibat fatal. Banyak prajuritnya yang mati karena kelelahan dan sakit karena epidemi. Bukan karena bertempur, tapi lantaran melawan cuaca buruk dan medan yang berat.
Pada 1827 Jenderal De Kock kemudian memperkenalkan strategi baru bernama Benteng Stelsel. Ini merupakan strategi membangun imbangan kekuatan dan mengutamakan manuver. Dengan strategi ini, ia berusaha mengunci gerak dan kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro.
Menurut kajian Saleh Asad Djamhari, sejarawan Universitas Indonesia, ada beberapa keuntungan yang diperoleh Belanda dari strategi Benteng Stelsel.
Pertama, benteng berfungsi sebagai batas wilayah dalam daerah pertahanan, memperpendek jarak penyaluran logistik, evakuasi pasukan ke tempat istirahat atau rumah sakit. Di setiap benteng tersedia beberapa ekor kuda untuk mempercepat komunikasi antarpangkalan dan untuk memutuskan hubungan antara desa yang dikuasai pemberontak, kemudian menghancurkan dan mengusir para pemberontak.
Kedua, benteng juga berfungsi mengawasi daerah sekitar, mencegah timbulnya ekses (pembakaran desa, perampokan) yang menganggu perekonomian setempat, menjaga stabilitas harga dan jumlah persediaan makanan.
Ketiga, benteng merupakan tempat melakukan aktivitas perundingan dan membujuk pimpinan pemberontak atau kepala desa dengan memberikan sejumlah hadiah berupa uang, opium, atau kain sarung.
Penangkapan Sang Pangeran
Namun pada akhir 1829, Pangeran Diponegoro merasa cepat atau lambat nasibnya akan ditentukan. Setelah hampir tertangkap pada 11 November, selama tiga bulan Diponegoro berjuang nyaris seorang diri. Penderitaannya ditambah dengan serangan malaria tropika yang parah saat ia bersembunyi di hutan-hutan di Bagelen Barat.
Di lain pihak, Belanda tengah mengadakan sayembara besar-besaran dengan kepala sang pangeran dibanderol 20.000 gulden. Dengan empat pasukan cepat yang terus memburu, statusnya sebagai pelarian tinggal menghitung hari. Cepat atau lambat Pangeran Diponegoro akan dipaksa oleh keadaan untuk merundingan penyerahan dirinya.
Stategi Jenderal De Kock untuk menerungku gerak Diponegoro juga makin intensif. Hingga 1829 Jenderal de Kock telah membangun 265 benteng. Selain itu, ia juga meminta bantuan dari ahli budaya Jawa, Roorda van Eisinga.
Saleh Asad Djamhari mengatakan ahli budaya Jawa inilah yang berperan besar dalam direncanakannya suatu upaya membujuk Pangeran Diponegoro datang dalam perundingan di Magelang. “Orang Jawa itu kalau berjanji tidak pernah ingkar, pantang menjilat ludah sendiri. Apalagi dia seorang pangeran, bangsawan,” ucap Saleh pada Rabu, 18 Mei 2016.
Maka tatkala Jenderal De Kock mendapat laporan bahwa Diponegoro dan sisa-sisa pasukan berada di hutan jati Remojatinegoro, ia membuat keputusan yang tak pernah diduga oleh bawahannya. Jenderal de Kock memerintahkan Kolonel Cleerens untuk membujuk Diponegoro agar mau diajak berunding.
Jenderal De Kock mampu mengekspoitasi nilai-nilai budaya sebagai sistem senjata. Nilai-nilai budaya yang dianggap luhur oleh orang Jawa dieksploitasi sebagai kelemahan dan dipakai untuk memukul mereka kembali. Ungkapan “Sabda Pandito Ratu” dan jawaban “ya” dari Diponegoro sudah cukup bagi De Kock. Dengan jaminan Clereens bahwa ia akan selamat, Diponegoro berangkat tanpa pretensi apa pun ke Magelang.
Pertemuan santai dan menyenangkan dari Clereens rupanya menipu sang pangeran. Maka pada 28 Maret 1830, setelah bulan puasa berakhir, Diponegoro datang ke kediaman residen yang menjadi tempat perundingan. Sang pangeran tak curiga meski pengamanan tampak lebih banyak dari biasanya. Sang pangeran berpikir, karena perundingan dilakukan setelah bulan puasa berakhir, maka ia mengedepankan sopan-santunnya dan berniat melakukan silaturahim.
Meski terkejut dengan akhir perundingan, Gondokusumo, panglima muda sekaligus pengiring Pangeran Diponegoro di Magelang, mengatakan Diponegoro selalu tahu pada akhirnya ia akan ditangkap.
“Sang pangeran akan malu bila ia mundur dari tuntutannya. Namun dengan cari ini martabatnya di mata rakyat akan tetap terjaga, tidak berkurang,” demikian kesaksiannya seperti dicatat De Stuers.
Advertisement