Taktik Setya Novanto Bangkitkan Golkar

Ketua DPP Gerindra Desmond J Mahesa menduga, apa yang dilakukan Partai Golkar di bawah Setya Novanto adalah bagian dari taktik politik.

oleh Ahmad Romadoni Putu Merta Surya PutraNanda Perdana Putra diperbarui 20 Mei 2016, 00:30 WIB
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (kiri-depan) bersama Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto hadir dalam acara Open House Wapres Jusuf Kalla di di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (17/7/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Setelah hampir 2 tahun menjalin hubungan mesra, Golkar dan Koalisi Merah Putih (KMP) akhirnya menyatakan berpisah. Keduanya sudah tak sanggup lagi mempertahankan hubungan manis yang terjalin selama ini, setelah partai beringin dipimpin Setya Novanto.    

Tepat pada Senin, 16 Mei 2016, di Nusa Dua, Bali, Partai Golkar mengukuhkan dukungannya kepada Pemerintahan Jokowi-JK. Dengan keputusan itu pula, Golkar secara resmi keluar dari Koalisi Merah Putih.

"Keputusan Golkar untuk mendukung Pemerintahan Jokowi-JK harus ditindaklanjuti dengan upaya nyata Partai Golkar, demi menyukseskan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan," ujar Sekretaris Sidang Munaslub Partai Golkar Siti Aisyah membacakan keputusan partainya beberapa saat menjelang pemilihan ketum Golkar.

Dengan keputusan ini, secara otomatis membatalkan keputusan Munas Golkar sebelumnya yang menyatakan bergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP).

"Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi keputusan Munas Partai Golkar Nomor 5/Munas 9/2014 tentang Posisi Partai Golkar dalam Koalisi Merah Putih," lanjut Siti Aisyah.

Setelah itu pimpinan sidang Munaslub Partai Golkar Nurdin Halid meminta persetujuan terkait keputusan politik ini. "Bagaimana setuju?" kata Nurdin.

"Setuju," sahut para peserta Munaslub Partai Golkar.


Keputusan berpisah dari KMP ditegaskan kembali oleh Setnov pada Kamis, 19 Mei kemarin. "Ini perlu dicatat, sekarang itu 2019 ini waktu sangat pendek sekali. Jadi sepanjang nanti rakyat mendukung Jokowi untuk presiden 2019, maka saya selaku ketua umum Partai Golkar, bukan hanya mendukung tetapi akan membela dan mendukung Presiden Jokowi di 2019," ucap Setya di Gedung DPR RI, Jakarta.

Ketua Umum Partai Golkar terpilih Setya Novanto bersama Sekertaris Jenderal Idrus Marham mengibarkan bendera Partai Golkar saat Penutupan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Nusa Dua, Bali (16/5). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Diputuskan seperti ini, Gerindra yang menggawangi KMP hanya bisa pasrah. Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani menyatakan, akan menghormati sikap Partai Golkar.

"Atas dukungan Golkar ke pemerintah, kita menghargai sikap internal Golkar. Itu urusan internal," ungkap Muzani.

Dia menuturkan, partai pimpinan Prabowo Subianto itu akan tetap menjadi oposisi. "Dari sisi Gerindra, tetap sebagai oposisi. Kalau pemerintah itu perlu kontrol, sebaik apa pun perlu dikontrol," ungkap Muzani.

Meski demikian, dia menegaskan, pihaknya tidak akan asal oposisi. "Kita tidak asal oposisi, kita tidak ingin asal beda. Kami suatu saat akan bersama-sama inisiatif pemerintah," tandas Muzani.

Sepeninggal Golkar, kini KMP tinggal beranggotakan dua partai yakni Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sejumlah partai yakni PAN dan PPP sudah lebih dulu meninggalkan koalisi yang berseberangan dengan pemerintah itu.


Taktik Politik

Taktik Politik

Lalu apakah kepergian Golkar ini untuk mengembalikan kembali kejayaan Golkar seperti pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, di mana Golkar selalu satu jalan dengan penguasa?

Ketua DPP Gerindra Desmond J Mahesa menduga, apa yang dilakukan Partai Golkar di bawah Setya Novanto adalah bagian dari taktik politik.

"Apa yang terjadi dengan Golkar, itu adalah taktik. Taktik itu bisa macam-macam," ungkap Desmond. Dia menyebut, langkah Golkar itu justru untuk mencari celah kemenangan di Pemilu 2019.

"Logikanya, kekuasaan pemerintah memang 3 tahun, tapi ini paling 2 tahun. Karena mendekati 2018, sudah memikirkan pemilu, apalagi pemilihan eksekutif dan legislatif akan dilakukan serentak. Sekarang bisa saja partai takut, tapi melihat Jokowi ingin maju, partai yang akan memimpin (mempunyai kuasa). Nah kita ini harus mempelajari juga makna Golkar itu," tandas Desmond.

Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Setya Novanto (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Guna menelisik mampu tidaknya Partai Golkar kembali berjaya di bawah kepemimpinan Setya Novanto, Lingkar Survei Indonesia (LSI) Denny JA pun menggelar jajak pendapat.
Menggunakan metode survei Multistage Random Sampling dengan melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi dan melalui Quickpoll, LSI Denny JA pun mendapat temuan baru.

Dari hasil survei yang digelar 2-7 Mei 2016, peneliti LSI Ardian Sopa mengatakan, perubahan struktur kepengurusan di tubuh Partai Golkar dirasa belum cukup untuk membawa partai peninggalan Orde Baru itu kembali bersaing dengan partai lain.

Dari hasi survei, masyarakat menilai, Golkar harus memunculkan branding baru berikut program dan tokoh nasional yang menjanjikan untuk bisa kembali berjaya.

"Mayoritas publik sebesar 64,5 persen menyatakan Golkar bisa bangkit lagi jika memunculkan branding baru," tutur Ardian di kantor LSI Denny JA di Jakarta, Rabu 18 Mei 2016.

Kendari demikian, masyarakat meyakini bahwa Partai Golkar akan mampu bangkit dari kisruh kepengurusan, yang melanda mereka hampir satu tahun lamanya yakni 2015-2016.

"Golkar pernah terpuruk saat jatuhnya Orde Baru tahun 98. Tapi dengan pengalamannya, Golkar bangkit dan menjadi juara di 2004 lalu," lanjut Ardian.

Menurut Ardian, perlu 4 strategi untuk memulihkan citra dan dukungan kepada Partai Golkar. "Pertama itu bergabung dalam Pemerintahan Jokowi dan mendapatkan ‎kursi kabinet. Karena memang Golkar itu khitahnya ya mendukung pemerintah," terang Ardian.

Langkah kedua adalah memastikan partai itu meraih suara lebih dari 50 persen dalam pilkada serentak ‎yang akan berlangsung 2017 mendatang.

Sementara ‎langkah ketiga yang harus dilakukan Golkar yakni menyiapkan calon presiden dan wakil presiden.

Adapun langkah terakhir yakni menciptakan branding baru yang dirumuskan oleh pengurus baru di bawah kepemimpinan Setya Novanto dan Aburizal Bakrie.

Rebranding di sini maksudnya, Partai Golkar harus memunculkan sejumlah rencana dan agenda yang dapat menaikkan citra partai itu di mata masyarakat. Golkar juga memerlukan tokoh yang dapat menjadi sosok pemimpin nasional untuk diusung pada Pilpres 2019 mendatang.

"Golkar perlu roh baru dan strategi baru. Golkar juga belum punya stok kuat capres. PDIP punya Jokowi dan Gerindra dengan Prabowo. Dari hasil survei terakhir, elektabilitas tertinggi dimiliki Jokowi dari PDIP 45 persen dan Prabowo dari Gerindra 20 persen. Kalau para tokoh nasional yang dimiliki Golkar masih di bawah 5 persen," beber Ardian.

Karena itu, lanjut dia, ketua umum dan ketua dewan pembina Partai Golkar harus menyiapkan program-program baru yang telah dirumuskan oleh para pengurus, guna menyelamatkan partai dari keterpurukan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya