Jejak Para Mantri Jawa di Balik Berdirinya Budi Utomo

Para pemuda intelektual yang berkumpul di Budi Utomo dari berbagai wilayah di Nusantara merasa memiliki ikatan kebersamaan kuat.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 20 Mei 2016, 08:35 WIB
Para pemuda intelektual yang berkumpul di Budi Utomo dari berbagai wilayah di Nusantara merasa memiliki ikatan kebersamaan kuat.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah film berdurasi 30 menit tentang sejarah Museum Kebangkitan Nasional diputarkan tanpa henti dalam sebuah ruangan yang disulap menjadi studio mini. Triyono, penjaga museum, mengatakan film diputarnya terus-menerus tanpa jeda.

"Silakan kalau ingin berkeliling. Di lorong sebelah kanan sejarah kedokteran, lorong sebelah kiri sejarah pergerakan dan di tengah sedang ada pameran Sisi Lain Kartini," ujar Triyono tersenyum ramah kepada Liputan6.com, Minggu, 15 Mei 2015.

Museum yang berlokasi di Jalan Abdul Rachman Saleh Nomor 26, RT 4/RW 5, Senen, Jakarta Pusat, itu tengah menggratiskan tiket masuk. Pengunjung tak dikenai biaya sepeser pun hingga 27 Mei 2016.

Meski demikian, museum tak terlalu ramai. Selain Liputan6.com, hanya ada satu rombongan lain dan anak-anak dari suatu sekolah yang sedang berlatih upacara untuk Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei.


Menurut salah seorang penjaga keamanan museum, Suhendra, pada Hari Kebangkitan Nasional akan diadakan upacara peringatan di halaman depan museum.

Museum yang merupakan bekas Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) alias Sekolah Dokter Djawa itu jamak diketahui merupakan tempat berdirinya Budi Utomo, sebuah organisasi yang merupakan organisasi modern pertama di Indonesia.

Para pemuda intelektual yang berkumpul dari berbagai wilayah di Nusantara merasa memiliki ikatan kebersamaan yang kuat dalam sistem pendidikan yang ketat dan berat. Perbedaan suku, bahasa, agama dan budaya yang ada melebur menjadi kesadaran akan persamaan nasib yang berkembang menjadi kesadaran bersama sebagai suatu bangsa.


Sejarah Stovia

Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta. (Liputan6.com/Andry Haryanto)


Stovia didirikan lantaran Pemerintah Hindia Belanda kekurangan tenaga medis untuk mengobati para pasien Bumiputera. Pemicu langsungnya adalah terjadinya wabah cacar di Keresidenan Banyumas pada 1847. Pada saat itu program vaksinasi sedang dijalankan Pemerintah Kolonial Pemerintah Belanda.

Upaya vaksinasi sudah dimulai pada 1779 ketika Carel Sirardus Willem Graaf van Hogendrop, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-46 di Batavia membuat pamflet kecil tentang anjuran vaksinasi. Sejak pertengahan abad ke-19, atas upaya Dr W Bosch dan AE Waszklewicz dilakukan vaksinasi ulang seluruh penduduk Jawa dan Madura dengan skala yang sangat besar.

Pada awal abad ke-19 cacar telah menjangkiti hampir seluruh Jawa dan menyerang penduduk setiap beberapa tahun sekali. Hal ini kemudian mendorong Belanda untuk melakukan usaha preventif, yakni vaksinasi.

Pada 1804, untuk pertama kalinya vaksin cacar didatangkan ke Batavia. Ketika Rafless berkuasa pada 1811, upaya vaksinasi besar-besaran yang mencakup seluruh Pulau Jawa mulai dilaksanakan.

Berkaitan dengan itu, didirikanlah Kursus Mantri Cacar. Pada 9 November 1847, pemerintah kolonial merekrut pemuda-pemuda Jawa dan mendidik mereka hingga terbentuk suatu korps kesehatan. Tugas utama mantri ini adalah mengobati dan memberikan vaksinasi cacar kepada masyarakat.

Keputusan itu diperkuat dengan terbitnya SK pada 2 Januari 1849 Nomor 22 tentang Pendidikan Penyuluh Kesehatan di Rumah Sakit Militer Weltevreden yang kini menjadi RSPAD Gatot Soebroto. Dua tahun kemudian, 1851, Kursus Juru Kesehatan pun resmi dimulai.

Dari menumpang di rumah sakit militer, kemudian didirikanlah bangunan baru pada 1899 yang selesai pada 1902. Di gedung inilah para mahasiswa Stovia seperti R Soetomo, Mas Soeleiman, Mas Gondo Soewarno, Mas Mohamad Saleh, Mas Soeradji, RM Goembrek, dan lain-lainnya berkumpul pada 20 Mei 1908 dan mendirikan Budi Utomo.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya