Liputan6.com, Jakarta - Tugiyo. Nama ini pernah tenar di belantika sepak bola Indonesia. Dijuluki Maradona Indonesia, pemain bertubuh gempal itu merupakan pahlawan PSIS Semarang di final Liga Indonesia 1999 lalu.
Tugiyo mengawali kariernya sebagai pemain di Diklat Salatiga dan Ragunan. Tampil ciamik bersama tim Popnas Jawa Tengah membuatnya masuk skuat PSSI U-16 dalam sebuah turnamen di Iran.
Setelah keluar dari Diklat Ragunan, Tugiyo pun melanjutkan petualangannya bersama PSB Bogor sebelum akhirnya hijrah ke PSIS Semarang.
Baca Juga
- Antusiasme Primavera Baretti Sambut Calcio Legend
- Pemain Calcio Legend Tiba di Jakarta
- Milanisti Indonesia Bakal Kuasai Curva Sud di Calcio Legend
Advertisement
Bersama Mahesa Jenar, nama Tugiyo melambung. Posturnya yang gempal dan kemampuan menggiring bola yang mumpuni membuat Tugiyo dijuluki Maradonanya Indonesia. Julukan ini semakin melekat setelah Tugiyo menjadi pahlawan PSIS Semarang di final Liga Indonesia 1999.
Saat itu Mahesa Jenar berhadapan dengan Persebaya Surabaya yang dihuni banyak pemain bintang seperti Hendro Kartiko, Anang Ma'ruf, Uston Nawawi, dan Yusuf Ekodono. Bertanding di Stadion Klabat, Manado, 9 April 1999, Tugiyo membawa PSIS menang lewat golnya di menit 89.
Tugiyo juga pernah dipanggil memperkuat timnas senior tahun 2000. Namun tidak seperti Maradona asli yang menjadi legenda Argentina, Tugiyo tidak sempat bersinar bersama Tim Merah Putih. Cedera memaksa pemain kelahiran Purwodadi tersebut menanggalkan kostum Garuda lebih awal.
Tugiyo Kembali ke Lapangan Hijau
Setelah bertahun-tahun pensiun, Tugiyo kini kembali lagi. Dia akan bergabung dengan mantan-mantan pemain Primavera Baretti menghadapi Calcio Legend di Jakarta, Sabtu (21/5/2016).
"Saya bangga karena dipanggil untuk melawan pemain-pemain legendaris dunia. Tentu saja, saya akan berusaha mengeluarkan kemampuan sebaik mungkin saat pertandingan nanti," kata Tugiyo saat ditemui Liputan6.com di sela-sela latihan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan.
Tugiyo kini lebih tambun, mirip postur Maradona asli. Gerakannya juga tidak selincah dulu dan mudah terengah-engah saat mengejar bola. Di bawah penanganan pelatih Danurwindo, Tugiyo kerap menjadi bahan candaan rekan-rekannya karena posturnya yang jauh "membengkak".
Meski demikian, para pemain masih menaruh rasa hormat bagi pemain kelahiran 13 April 1977 itu.
Pensiun sebagai pemain tidak membuat Tugiyo jauh dari lapangan hijau. Sebaliknya, Maradona Indonesia itu tengah memperdalam ilmu kepelatihannya. Di waktu luang, Tugiyo juga masih kerap bermain sepak bola bersama rekan-rekannya di Semarang. "Sekadar cari keringat saja," katanya.
"Fokus saya setelah pensiun memang memperdalam ilmu kepelatihan. Di luar profesi sebagai pelatih, saya paling senang di rumah. Antar istri kerja dan jemput anak dari sekolah sudah jadi rutinitas."
Advertisement