Dokter Tak Boleh Suntik Kebiri Penjahat Seksual?

Saat ini masih terdapat pro kontra terkait peran dokter pada hukuman kebiri.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 21 Mei 2016, 19:09 WIB
Ilustrasi suntik kebiri

Liputan6.com, Jakarta Tidak bisa dipungkiri, yang berhak melakukan suntikan kebiri bagi para penjahat seksual adalah wewenang dokter. Namun, saat ini masih terdapat pro kontra terkait peran dokter pada hukuman kebiri.

Begitu disampaikan Anggota DPR RI dari Komisi IX, Dr. Verna Gladies Merry Inkiriwang dalam keterangan pers, Sabtu (21/5/2016).

"Banyak yang berpendapat, tidaklah etis seorang dokter membuat disfungsi organ pada seseorang, dimana sejatinya seorang dokter mestinya meningkatkan kualitas hidup manusia," katanya.

 

Hukuman kebiri, kata dia, memang masih menjadi kontroversi, utamanya terkait efektivitasnya. Hormon tentu bukan menjadi satu-satunya penyebab perilaku menyimpang dari para pelaku. Gangguan psikis akibat trauma masa lalu misalnya, juga sering ditemukan pada para pelaku.

"Para ahli mesti duduk bersama untuk membahas tentang apa hukuman yang sebaiknya diberikan kepada para pelaku kekerasan seksual. Selain itu, hukuman kebiri ini juga perlu dibahas bersama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mewakili organisasi profesi dokter," ujarnya.

Belum lagi terkait isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada hukuman kebiri. Para aktivis HAM memandang bahwa hukuman ini melanggar HAM karena akan membuat orang tidak bisa bereproduksi menghasilkan keturunan.

"Hukuman kebiri kimiawi yang tidak bersifat permanen tentu bisa menjawab masalah ini. Namun, kembali akan muncul pertanyaan tentang bagaimana efektivitas dan biaya dari hukuman yang bersifat temporer tersebut," kata dia.

Kendati demikian, Verna mengecam keras tindakan kejahatan seksual pada anak yang sampai saat ini telah sampai pada titik yang sangat meresahkan. 

"Berhubung kekerasan seksual pada anak adalah sebuah extraordinary crime, maka tentu penanganannya juga harus extrordinary. Tampaknya hukuman yang saat ini berlaku belum bisa memberikan efek jera pada para pelaku sehingga kasus kekerasan seksual masih banyak ditemukan di sekitar kita," katanya.

Sebagaimana diketahui, saat ini pemerintah sedang menggodok Perppu menggantikan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang merupakan revisi dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Di peraturan ini dibahas tentang hukuman kepada pelaku kekerasan seksual, seperti kebiri kimia, pemasangan micro chip, dan publikasi identitas pelaku ke publik. Namun seiring dengan hukuman yang bersifat sementara pada para pelaku, rehabilitasi juga mesti dilakukan sebagai upaya untuk mengobati penyimpangan yang mereka derita.

“Kami akan perjuangkan adanya peraturan yang mengatur masalah korban. Bagaimana pencegahan, penanganan pasca kejadian, pendampingan, dan lain-lain, mengingat trauma yang mendalam bagi korban. Jadi bukan hanya 1 minggu saja mereka didampingi oleh negara," pungkas Verna.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya