Liputan6.com, Jakarta - Pertengahan Agustus 2013. Kurnia Supriyatna, video jurnalis Liputan 6, tiba di lantai 9 SCTV Tower. Dia mencari Jatmiko Saktyartoro, produser program Liputan Khusus. Kurnia merasa informasi yang dia miliki cocok untuk bahan liputan program baru.
Saat itu Miko memang sedang merancang sebuah program baru. Melengkapi "Sosok" yang sudah terlebih dulu mengudara di Liputan 6 Siang saban hari Minggu.
Ide program baru ini datang dari Lita Hariyani, saat itu produser Liputan 6 Siang. Matanya berkaca-kaca saat melihat anak kecil melintas di Jalan Sudirman, Jakarta. Anak itu tidak berjalan, melainkan tengkurap pada sebuah papan beroda yang ditarik seorang pria dewasa. Berseragam SD, anak itu berangkat ke sekolah. Yang membuat Lita tercengang, anak itu ternyata tak memiliki lengan, juga kaki.
Setiba di kantor, Lita bertemu Mauludin Anwar, kepala produksi berita Liputan 6. Dia menceritakan kisah anak kecil itu. Ujungnya mereka sejalan untuk membuat program baru; berkisah orang-orang yang tidak mudah menyerah. Tak manja dan mau berusaha di tengah keterbatasan.
Slot pun disiapkan. Program tersebut bakal disisipkan di Liputan 6 Siang, semacam segmen khusus. “Seperti program di dalam program,” ujar Lita yang Liputan6.com kutip dari buku "Di Balik Layar Liputan 6" yang merekam 20 tahun perjalanan Liputan 6 SCTV. Rencananya, buku ini diluncurkan Senin 23 Mei 2016.
Baca Juga
Advertisement
Program tersebut kemudian digarap tim liputan khusus. Miko sebagai produser dan Kurnia menjadi salah satu video jurnalis. Tayangnya seminggu sekali.
Sejumlah usulan nama program mengemuka: Tidak menyerah, Jangan Menyerah, dan lainnya. Setelah ditimbang-timbang disepakati program baru itu akan diberi nama: Pantang Menyerah.
Mudah dingat, juga diucapkan. Makna dan pesannya pun gampang dimengerti semua orang.
Berjumpa Getun
Kurnia datang dengan sebuah nama hasil penelusuran di dunia maya. Getun Tri Aena. Menurut Kurnia, profil Getun pas untuk episode perdana "Pantang Menyerah." Terlahir tanpa tangan, siswi kelas 5 SD Negeri 1 Clapar, Banjarnegara, Jawa Tengah, itu benar-benar tidak mudah menyerah. Dia beraktivitas seperti biasa, bahkan tergolong berprestasi di sekolah.
Saat rapat proyeksi Pantang Menyerah, Miko langsung sependapat dengan Kurnia. Getun memang layak diliput. “Cocok dengan pesan yang ingin disampaikan, dia mampu mengatasi persoalannya sendiri. Tidak mudah menyerah,” kata Miko .
Kurnia pun berangkat ke Banjarnegara. Perlu waktu 12 jam untuk tibadi rumah Getun. "Waktu itu sudah malam, kalau tidak salah besoknya hari pertama puasa Ramadan," ungkap Kurnia, yang terkadang disapa Jikur oleh teman-temannya. Jikur merupakan kependekan dari Haji Kurnia.
Kehadiran Kurnia disambut hangat orangtua Getun, pasangan Suwandi dan Sarinem, yang sehari-hari berprofesi sebagai buruh tani dan penjual kue. Malam itu, sebenarnya Kurnia sudah melihat Getun. Asyik bermain monopoli bersama teman-temannya di tengah rumah. Namun Kurnia menahan diri. Dia tidak langsung aktif berinteraksi.
Kurnia mendapat kabar, Getun suka malu bila bertemu orang baru. Jika begitu, bad mood-nya suka muncul. Ini yang dikhawatirkan Kurnia.
Menjelang sahur, Kurnia terbangun dari tidur dan pergi ke dapur. Di sana, dia melihat Getun membantu ibunya menyiapkan makan sahur. Kurnia tertegun. Getun cekatan memotong sayur, dengan ujung pisau dijepit di sela jari kaki. Seperti orang normal yang memotong dengan tangan. Sesekali diselingi dengan memasak telur. Juga menggunakan kaki.
Menyaksikan hal itu, Kurnia meninggalkan dapur. Membuka tas, mengambil kamera. Kurnia kembali ke dapur. Mengajak Getun ngobrol dan berusaha cair. Strategi ini manjur. Getun tak keberatan saat Om Haji—demikian Kurnia disapa Getun, mulai mengambil gambar. Bahkan, dia juga mengajak Kurnia ikut ke sekolahnya pagi nanti.
Sejak menyiapkan makan sahur, gerak-gerik Getun tak lepas dari sorot kamera Kurnia. Dari mulai menyisir, berseragam, hingga berangkat ke sekolah. Semua dilakukan secara mandiri. “Dari kecil dia memang tidak pernah mau dibantu. Semuanya mau sendiri,” kata Sarinem.
Sejumlah tetangga bingung. Teman-teman Getun juga heran.
Advertisement
Siswi Berprestasi
Meski dalam kondisi terbatas, Getun termasuk siswa berprestasi. Nilainya sering di atas rata-rata kelas. Rapornya selalu bagus. Jika tidak nomor satu, ya peringkat dua. Namun lebih sering menjadi juara kelas.
Gadis kelahiran Mei 2002 itu juga aktif mengikuti kegiatan sekolah. Dia masuk dalam tim inti grup musik sekolah. Jika ada kegiatan, Getun diminta memainkan organ. Jemari kakinya lincah saat menekan tuts. Sesekali dia juga bernyanyi.
Menurut bahasa Jawa, Getun berarti menyesal. Waktu melahirkan Getun, sang ibu sangat terkejut mendapati tubuh sang bayi tak sempurna. Sarinem terus-menerus menangis, meratapi nasib.
Namun itu hanya sesaat. Makin besar Getun, kian hilang penyesalan keluarga. Getun tumbuh menjadi anak yang menyenangkan. Dia sering membantu Sarinem. Mulai dari menyapu, cuci piring, hingga cuci baju. “Kasihan kalau ibu harus bekerja sendiri,” alasan Getun.
Hingga saat ini komunikasi dengan Getun masih terjalin. Tidak jarang Getun menelepon duluan. Sekadar say hello atau meminta saran, “Om haji ada TV mau wawancara saya, boleh tidak?” Atau Getun curhat soal keseharian dan teman-temannya di sekolah.
Kisah Getun Tri Aena yang menjadi tayangan pertama program Pantang Menyerah ini menjadi kebanggaan Kurnia dan juga awak redaksi Liputan 6 karena mendapat penghargaan dari CNN Television Journalist Award 2013 untuk kategori education, culture, and art.