Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menelusuri soal adanya indikasi ada tidaknya aliran dana dalam kasus dugaan suap pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
"Soal aliran dana yang ditanyakan, itu nanti akan masuk materi yang kewnangan penyidik," ucap Pelaksana Harian (Plh) Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Minggu (22/5/2016).
Sejauh ini, baru Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi yang diduga menerima suap dari PT Agung Podomoro Land (APL) dalam kasus tersebut. Sanusi pun sudah jadi tersangka oleh KPK.
Sementara yang lain, menurut Yuyuk, KPK belum menjerat lagi pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Termasuk soal pihak-pihak yang ditengarai turut menerima suap dari pengembang.
"Saya tidak bisa beri informasi sejauh mana. Apa ada aliran dana dan kemana saja saya tidak bisa informasikan itu," ujar Yuyuk.
Baca Juga
Advertisement
KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi, Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja, dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro.
Sanusi diduga menerima suap sebesar Rp 2 miliar dari PT APL terkait dengan pembahasan Raperda RWZP3K dan Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta oleh DPRD DKI. Di mana kedua raperda itu sudah 3 kali ditunda pembahasannya di tingkat rapat paripurna.
Adapun selaku penerima, M Sanusi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan Ariesman dan Trinanda selaku pemberi dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.