Derita Pengungsi Sinabung; Lahan dan Rumah Tak Ada, Kita Susah...

Pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung mulai putus asa membayangkan masa depan mereka dan anak-anaknya.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 24 Mei 2016, 03:00 WIB
Petugas saat melakukan operasi pencarian warga atau korban akibat letusan Gunung Sinabung di desa Gamber, Karo, Sumatera Utara, (23/5).Desa Gamber sendiri merupakan kawasan zona merah Gunung Sinabung. (GATHA GINTING / AFP)

Liputan6.com, Karo - Pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung mulai putus asa membayangkan masa depan mereka dan anak-anaknya. Sebab mereka tak punya rumah dan lahan lagi untuk menghidupi diri.

Mereka menangis ketika berkeluh kesah dengan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang mendatangi lokasi pegungsian di Gereja Batak Naro Protestan (GBKP), Jalan Mariam Ginting Simpang 6, Kabupaten Karo, Kecamatan Kabanjahe, Sumatera Utara, Senin, (23/5/2016).

Khofifah tiba sekitar pukul 13.30 WIB didampingi pendeta gereja dan relawan Program Keluarga Harapan (PKH) serta para pejabat terkait.

"Kita sudah tiga tahun di sini bu. Mau kerja apa di sini, lahan dan rumah kami sudah tidak ada. Susah, susah, kami ingin bekerja tapi tidak bisa," curhat seorang ibu sambil menangis.

Mendengar curhat salah satu warganya, Khofifah tidak bisa membendung air matanya. Tidak ada kata terucap, sang ibu langsung dirangkul dan dipeluknya.

"Semua di sini harus menambah kekuatan, sama-sama menambah kesabaran. Pemerintah sudah turun tangan tapi ada keterbatasan pemerintah apakah nanti direlokasi atau apakah ganti sewa lahan," kata Khofifah.

 

Saat ini, kata Khofifah, pemerintah hanya bisa fokus pada pendidikan anak-anak. Kemensos berencana memberikan mobil untuk antar jemput anak-anak sekolah secara gratis.

"Anak-anak, mereka butuh antar jemput. Insya allah, Kemensos bisa memberikan mobil walaupun habis pakai, ini bisa antar jemput anak-anak," kata Khofifah.

Jumlah pengungsi di tempat pengungsian ini mencapai 1.520 jiwa atau sebanyak 421 kepala keluarga. Umumnya, para pengungsi berasal dari Desa Sigarang-Garang, Kecamatan Namantran.

Salah satu pengungsi, Tawar Sitepu (50) mengatakan, desa mereka memang tidak terdampak langsung erupsi Gunung Sinabung namun masuk dalam zona merah.

Di tempat pengungsian, Tawar mengaku bekerja sebagai buruh tani untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anaknya. Setiap hari dia hanya mendapatkan upah maksimal Rp 50 ribu.

"Kadang juga kurang. Ini untuk biaya transportasi anak, beli buku dan lainnya," kata Tawar.

Dia berharap pemerintah dapat memberikan kepastian hidup para pengungsi. Terutama penyediaan lahan agar dapat digarap.

"Kalau begini terus nggak bisa bergerak, sementara kebutuhan bertambah terus," kata Tawar.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya