Liputan6.com, Jakarta - Presiden Rusia Vladimir Putin menawarkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pengembangan pembangkit energi nuklir di Indonesia. Ini terutama untuk memenuhi pasokan listrik di negara ini.
Ini disampaikan Putin saat keduanya bertemu di Sochi, Rusia pada 18 Mei lalu. "Ditawarkan oleh Rusia untuk pengembangan nuklir. Tapi Indonesia masih mau fokus pengembangan energi baru dan terbarukan," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengutip pernyataan Presiden Jokowi.
Advertisement
Retno menjelaskan, pintu untuk menerima tawaran pengembangan energi nuklir dari Rusia tidak selamanya ditutup. Setidaknya, Indonesia masih mau menerima alih ilmu dan teknologi nuklir.
Apalagi beberapa waktu terakhir pemerintah tengah gencar menambah pasokan listrik nasional dengan menggencarkan pembangunan pembangkit listrik. Selain berbahan baku fosil, Indonesia juga melirik untuk membangun Pembangkit Listrik Negara Nuklir (PLTN), terutama yang berbasis Thorium.
Lantas seperti apakah PLTN Thorium tersebut dan bagaimana peluang Indonesia membangunnya, berikut ulasannya, Rabu (25/5/2016):
Bisa Listriki RI Sampai 1.000 Tahun
Guna memenuhi pasokan energi bagi industri di dalam negeri, Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin menyatakan pentingnya pengembangan sumber energi baru. Salah satunya melalui pembangunan PLTN thorium.
Saleh mengungkapkan, PLTN ini memiliki potensi yang besar menjadi salah satu penyuplai energi listrik terbesar di Indonesia. Hal ini mengingat sumber bahan baku thorium di Indonesia sangat melimpah, salah satunya yaitu di wilayah Bangka Belitung.
"Hal ini sangat diperlukan mengingat ke depan kebutuhan energi untuk industri sangat besar dan tentu dengan harga yang kompetitif," ujar dia.
Dia menjelaskan, di Indonesia sumber daya thorium di Babel diperkirakan mencapai 170 ribu ton. Dengan perhitungan 1 ton thorium mampu memproduksi 1.000 megawatt (MW) per tahun, maka jumlah bahan baku tersebut cukup untuk mengoperasikan 170 unit pembangkit listrik selama 1.000 tahun.
Sementara dari sisi total biaya produksi termasuk operasional, pembangkit listrik itu juga lebih murah karena hanya membutuhkan US$ 3 sen per kwh. Sedangkan jika menggunakan batubara membutuhkan US$ 5,6 sen per kWh, gas US$ 4,8 sen per kWh, tenaga angin US$ 18,4 sen per kWh dan panas matahari US$ 23,5 sen per kWh.
Hal senada juga diungkapkan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari akademisi, Tumiran yang mengungkapkan, penyediaan energi untuk industri sangat penting bagi kesinambungan perekonomian, lapangan kerja dan kemandirian.
“Teknologi penyediaan energi terus berkembang dan kita dapat memanfaatkannya sesuai peta potensi energi nasional, termasuk teknologi reaktor yang generasi kini sudah jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. PLTN thorium dapat menyediakan kebutuhan energi yang semakin meninggi," dia menjelaskan.
Pengajar dan mantan Dekan Fakultas Teknik UGM ini juga mengungkapkan, pemanfaatan thorium termasuk diversifikasi energi. Ini sejalan dengan aktivitas industri yang banyak menyerap investasi dan sumber daya mineral (SDM). "Juga mensyaratkan keberlanjutan dan jaminan pasokan energi atau security of supply," tandas dia.
Negara yang kembangkan PLTN Thorium
Negara yang kembangkan PLTN Thorium
Sejumlah negara saat ini tengah mengembangkan PLTN thorium. Pembangkit listrik jenis ini juga diharapkan bisa dikembangkan di Indonesia guna mendukung pemenuhan energi untuk sektor industri.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan saat ini negara-negara maju tengah berlomba untuk mengembangkan PLTN thorium ini. Setidaknya, ada lima negara yang sedang dalam tahap pengembangan teknologi ini, yaitu Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Kanada, Belanda, dan Perancis.
"Saat ini Tiongkok sudah mengoperasikan 32 unit PLTN dan sedang membangun 22 unit PLTN lagi," ujar dia.
Selain di negara maju, pengembangan PLTN thorium juga kini mulai merambah kawasan Asia. Sebut saja Vietnam dan Malaysia yang saat ini telah memulai perencanaan pembangunan PLTN thorium di wilayahnya.
"Negara-negara berkembang lain seperti Bangladesh, Vietnam, Malaysia, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Yordania, dan Kuwait telah memulai perencanaan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir," kata dia.
Vietnam sudah memulai pembangunan PLTN yang akan beroperasi pada 2020. Bangladesh baru saja menandatangi kontrak pembangunan PLTN yang di harapkan beroperasi 2022. Sementara Malaysia memiliki roadmap untuk mulai membangun pembangkit di tahun 2030.
Melihat hal tersebut, Indonesia juga sepertinya juga tak mau kalah. Harjanto menyebut sejumlah BUMN juga telah menggandeng perusahaan asal Amerika Serikat untuk pengembangan PLTN thorium ini di Indonesia.
"Beberapa BUMN di Indonesia yang dimotori PT Industri Nuklir Indonesia telah melakukan kerja sama dengan sebuah perusahaan Amerika untuk melakukan pengembangan dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium yang diharapkan dapat mulai beroperasi pada tahun 2022,” tandas dia.
Keunggulan PLTN Thorium
Thorium dinilai akan menjadi alternatif sumber energi masa depan melalui pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) berbasis thorium. Lantas apa keunggulan thorium dibandingkan dengan bahan baku energi lain?
Menperin Saleh Husin mengatakan, PLTN thorium lebih efisien dibanding batu bara dan uranium sekalipun. Kalkulasinya, untuk menghasilkan 1.000 megawatt (MW) atau 1 gigawatt per tahun diperlukan batu bara sebesar 3,5 juta-4 juta ton. Sedangkan untuk uranium setidaknya sebesar 200 ton-250 ton. Namun thorium, bisa lebih hemat lagi
"Sementara thorium mampu menghasilkan kapasitas produksi listrik sebesar itu hanya dengan volume sebesar 7 ton," ujar dia.
Saleh juga menjelaskan, thorium merupakan limbah radioaktif yang hanya ditimbun dan belum dimanfaatkan sebagai hasil pemurnian dari timah, monazite, titanium dan zirkon.
"Bila thorium dimanfaatkan, maka hal ini sekaligus menjadi implementasi paradigma waste to energy (limbah menjadi energi)," kata dia.
Menurut Saleh, saat ini sumber daya thorium di Indonesia diperkirakan sebesar 140 ribu ton. Dengan demikian, Indonesia bukan hanya merupakan negara yang siap menjadi negara dengan ketahanan energi yang kuat selama lebih dari 1.000 tahun tetapi juga mampu memasok energi listrik secara internasional.
“Ada lima daerah potensial yang dapat dikembangkan menjadi kawasan industri berbasis thorium yaitu, Bangka Belitung, Batam, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat,” tandas dia.
Advertisement
Peluang RI
Peluang RI Bangun PLTN Thorium
Indonesia menjadi salah satu negara yang tengah mempertimbangkan untuk membangun PLTN berbasis thorium. Lantas benarkah Indonesia bisa menjadikan thorium sebagai bahan baku pembangkit nuklir hijau?
Ketua Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HMNI) Arnold Soetrisnanto mengatakan baru-baru ini muncul lagi debat seputar nuklir yang dipicu thorium, sumber bahan baku baru yang dikatakan berpotensi digunakan untuk reaktor nuklir komersial. Banyak yang menganggap torium sebagai alternatif yang lebih baik daripada uranium tradisional.
"Tidak diragukan lagi bahwa thorium layak untuk didiskusikan dan sangat masuk akal untuk ditindaklanjuti melalui suatu penelitian dan pengembangan yang mendalam," jelas Arnold saat berbincang dengan Liputan6.com.
Namun dia menegaskan, hingga saat ini torium masih berstatus prototipe dan masih dalam kajian research and development (R&D). Masih banyak langkah yang harus dilakukan untuk bisa menjadikan thorium sebagai bahan baku PLTN di Indonesia atau memasuki tahapan komersial.
"Mereka yang paham cara kerja pembangkit energi nuklir mengerti bahwa di antara ekstraksi fisik uranium sampai ke pemanfaatan terdapat rantai teknologi yang sangat panjang dan luar biasa rumit. Mulai dari ekstraksi, konversi, pengayaan dan berakhir dengan fabrikasi bahan bakar," tutur dia.
Menurut dia, bila Indonesia memang ingin membangun PLTN sebaiknya mengacu pada hal yang sudah terbukti. Yakni, pemakaian uranium sebagai bahan baku PLTN.
"Saran saya jangan mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan program torium komersial, karena belum saatnya, nantinya bakal berdarah-darah," dia menjelaskan.
Pandangan Ahli Negara Lain
Senada dengan Arnold, beberapa peneliti dari negara lain menilai PLTN berbasis thorium masih sulit terealisasi. Salah satunya dari pakar Malaysia, Mohd Zamzam bin Jafaar yang merupakan CEO Corporation Tenaga Nuklir Malaysia.
"Kami tidak berpikir thorium akan menjadi solusi (bahan bakar nuklir) sampai mungkin 2035," jelas dia seperti mengutip laman nuclearforum.asia.
Menurut dia, thorium memiliki potensi, tetapi itu bersifat jangka panjang untuk menggantikan uranium setidaknya sampai dua dekade ke depan.
"Kita perlu ingat bahwa pembangkit nuklir saat ini memiliki umur yang sangat panjang, dengan beroperasi selama 60 tahun ke depan atau lebih," dia menjelaskan.
Adapun negara yang memiliki industri energi nuklir cukup pesat adalah India. Negara ini menjadi contoh sempurna satu wilayah yang memiliki banyak kandungan thorium tetapi tidak dapat mengaplikasikannya menjadi PLTN sampai sekarang.
Menurut mantan Kepala Keselamatan Divisi Energi Atom Dewan Nuklir India, SP Singh yang sudah memiliki pengalaman lebih dari 50 tahun ikut menjelaskan kondisi ini.
"Thorium tidak hanya alternatif dalam jangka pendek. Tidak ada daya reaktor yang menggunakan thorium dalam skala besar saat ini, tidak ada sama sekali. Saya setuju dengan Zam Zam. mengembangkan sebuah sistem untuk reaktor thorium akan membutuhkan waktu puluhan tahun," tegas dia.
India termasuk wilayah yang memiliki deposit besar uranium dan thorium. Menurut para ahli, negara ini memiliki dua setengah juta ton thorium. Sementara persediaan uranium India ditetapkan bertahan tidak lebih dari 40 tahun
Dengan demikian, dengan deposito besar seperti thorium orang akan menduga bahwa pengembangan reaktor thorium telah datang secara alami untuk sektor nuklir India. Namun ini, tidak terjadi.(Nrm/Zul)
Advertisement