Liputan6.com, Jakarta - "Saya telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan ke 2 atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, Rabu 25 Mei 2016.
Coretan tanda tangan Jokowi itu memberi secerca harapan bagi anak-anak korban kejahatan seksual.
Bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak dengan kriteria tertentu, bakal diganjar hukum kebiri. Namun, jangan bayangkan kebiri yang diatur dalam perppu itu akan mengamputasi alat reproduksi pelaku kejahatan seksual kepada anak.
Negara akan menghukum pelaku kejahatan seksual dengan kebiri kimia.
Harapannya, hukuman tersebut mampu menimbulkan efek jera.
Jokowi menilai kejahatan seksual pada anak termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Terlebih, belakangan ini, kasus tersebut seolah mewabah dari satu daerah ke daerah lainnya.
Advertisement
Sebut saja kasus kejahatan seksual dan pembunuhan Yuyun, gadis asal Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Anak 14 tahun itu Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Kejadian ini meninggalkan duka mendalam bagi keluarga Yuyun. Bahkan saat ini keluarga Yuyun mengalami trauma berat. Mereka harus hijrah dari kampungnya karena selalu teringat anak perempuan satu-satunya keluarga tersebut.
Belum selesai kasus Yuyun, muncul lagi kasus pelecehan seksual di Pekanbaru. Gadis berusia 15 tahun itu menjadi korban kejahatan seksual empat pria. Sebelum kehormatannya direnggut, korban dibuat tak sadarkan diri karena dicekoki tuak.
Sementara di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, seorang guru sekolah dasar (SD) Sudjatmo ditangkap jajaran Polres Metro Jakarta Utara. Dia diduga melakukan kejahatan seksual terhadap muridnya yang masih duduk di kelas 5, RNA.
Pria itu diduga sering kali melakukan kejahatan seksual kepada bocah 12 tahun itu dengan iming-iming uang.
Pemberatan
Oleh karena itu, Jokowi mengeluarkan perppu yang salah satunya mengatur tentang kebiri kimia.
"Perppu ini dimaksudkan untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak yang makin meningkat secara signifikan," kata Jokowi.
Pada Perppu itu diatur tentang pemberatan pidana, yakni penambahan masa hukum sepertiga dari ancaman pidana, dipidana mati, pidana seumur hidup, serta pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
"Pidana tambahan yaitu pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik," tegas Jokowi.
Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta itu, perubahan yang diatur dalam Perppu akan memberi ruang bagi hakim untuk memutuskan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
"Kita berharap dengan hadirnya Perppu ini, bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku serta dapat tekan kejahatan seksual terhadap anak yang merupakan kejahatan luar biasa," ucap Jokowi.
Tak Berlaku Surut
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menuturkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur tentang hukuman kebiri kimia bagi penjahat seksual, tidak berlaku surut. Hukuman itu baru berlaku sejak ditetapkan saja.
"Tidak berlaku surut. Sejak saat ini berlaku," kata Yasonna, di Istana Negara, Jakarta, Rabu 25 Mei 2016.
Menurut dia, draf perppu yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi segera dikirim ke DPR. Perppu ini tetap harus dibahas oleh anggota dewan dan selanjutnya disahkan menjadi undang-undang.
"Ini sudah berlaku perppu, tapi nanti akan dikirimkan oleh Presiden ke DPR untuk disahkan. Kita harap teman-teman fraksi di DPR akan sepakat dengan Presiden, dengan pemerintah, agar Perppu ini bisa jadi UU," tegas Yasonna.
Dia juga menuturkan, bila kejahatan seksual dilakukan anak di bawah umur, maka mereka luput dari hukuman kebiri kimia.
"Pelaku anak-anak tidak, ini kan orang yang dewasa melakukan pada anak-anak. Kan ada UU tentang Peradilan Anak, itu beda ya," kata Yasonna.
Pemberian hukuman tersebut lebih berpeluang dijatuhkan pada pelaku yang berulang kali melakukan kejahatan seksual. Nantinya, hakim yang akan memutuskan hukuman mana yang pantas diberikan.
"Nanti hakim lihat fakta-fakta dan itu diberikan pada pelaku berulang, pelaku beramai-ramai, paedofil pada anak-anak. Bukan pada sembarang. Hukuman tambahan ini ada beberapa. Pertama, kebiri kimia. Kedua, pemasangan alat deteksi elektronik," tutur dia.
"Boleh hanya kebiri, boleh alat deteksi elektronik, termasuk pengumuman yang bersangkutan pada publik. Diumumkan secara publik untuk hukuman sosial," tambah Yasonna.
Yasonna juga menambahkan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 masih diatur hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, karena Indonesia masih mengakui hukuman tersebut. Bahkan, Mahkamah Konstitusi pun menilai hukuman tersebut dianggap kedaulatan negara.
Beberapa waktu lalu, Jaksa Agung HM Prasetyo mengaku sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk menjalankan aturan tentang hukuman kebiri.
"Nanti disiapkan dokter-dokter. Nanti kalau jaksa yang menyuntik bisa salah suntik," kata Prasetyo di Kompleks Kejagung, Jakarta, Jumat 20 Mei 2016.
Advertisement
Perdebatan
Meski banyak yang bersuka cita atas ditandatanganinya perppu ini, ada juga pihak yang masih menentang.
Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Muti menilai hukuman kebiri yang direncanakan pemerintah tidak akan efektif memberi efek jera terhadap perilaku kekerasan seksual terhadap anak.
"Kebiri tidak menjamin kekerasan seksual berhenti dan memberi efek jera pelaku," kata Muti di Jakarta seperti dikutip Antara, Minggu 22 Mei 2016.
Menurut dia, pelaku kekerasan yang dikebiri berpotensi melakukan kekerasan yang lebih berbahaya bagi anak-anak, termasuk kelompok rentan lainnya yaitu perempuan. Terlebih kebiri itu tidak diiringi hukuman yang berat bagi pelaku.
Ketua Dewan Pergerakan Indonesia Maju (PIM) Din Syamsuddin meminta pemerintah jangan terburu-buru menerapkan hukuman tersebut.
Dalam pembahasan penerapan hukuman kebiri, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu meminta pemerintah juga melibatkan tokoh agama. Sebab dalam pembahasan hukuman kebiri perlu pertimbangan dari aspek agama.
"Seharusnya (libatkan tokoh agama). Jangan serta merta menerapkan itu," tegas Din usai deklarasi Pergerakan Indonesia Maju di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Sabtu 21 Mei 2016.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menolak penerbitan perppu mengenai hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan asusila terhadap anak.
"Kami menolak terbitnya Perppu kebiri ini," ujar Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Siti Noor Laila di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (15/2/2016).
Dia menilai hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dengan obat atau kimiawi, terlalu keji dan tidak manusiawi.
Namun, Komnas HAM memahami kejahatan asusila terhadap anak sudah mencapai titik luar biasa. Komnas HAM, lanjut dia, juga paham jika pemerintah perlu mengambil langkah yang luar biasa untuk mengatasi masalah tersebut.
"Namun Komnas HAM mengingatkan, perkembangan peradaban menuntun agar penghukuman tetap dilakukan dengan manusiawi dan diupayakan menjadi sebuah mekanisme rehabilitasi agar seseorang dapat kembali menjadi manusia yang utuh," ucap dia.
Isi Lengkap Perppu
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat;
c. bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu segera mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Mengingat :
1. Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
2. Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81A
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan cip.
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
4. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82A
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal II
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Advertisement