Liputan6.com, Jakarta - Pekan lalu, sejarah dibuat oleh Sevilla. Di Basel, Swiss, tim asuhan Unai Emery itu menahbiskan diri sebagai klub pertama yang tiga kali beruntun menjuarai Liga Europa. Itu sesuatu yang “unthinkable yet remarkable”. Sevilla, meski sejak didirikan hanya fokus pada sepak bola, bukanlah raksasa di kancah Eropa. Di Spanyol saja, Sevilla bukanlah apa-apa dibanding Real Madrid dan Barcelona.
Baca Juga
- Inilah Skuat Manchester United Era Mourinho
- Bintang Persib Van Dijk Tampil Apik, Zulham Belum Memuaskan
- Laskar Negeri Ginseng Taklukkan Sepak Bola Indonesia
Advertisement
Bagi Sevilla, rekor itu sama tak masuk akalnya dengan kedatangan dua juara dunia pada 1992. Jelang musim 1992-93, Los Rojiblancos secara mengejutkan berhasil mendatangkan pelatih Carlos Bilardo dan megabintang Diego Maradona. Keduanya punya peran besar dalam kesuksesan Argentina menjuarai Piala Dunia 1986.
Bersama dua juara dunia itu, datang pula seorang gelandang muda bernama Diego Pablo Simeone dari Pisa. Karena bukan siapa-siapa, tentu saja sinarnya tertutupi Maradona. Namun, pada 1994, dia nyaris saja berbaju Real Madrid.
“Andai Artur Jorge datang sebagai pelatih Madrid, dia akan memilih saya. Tapi, Madrid berpaling kepada Jorge Valdano yang lebih suka mendatangkan Fernando Redondo,” kenang Simeone. “Begitulah. Namun, saya selalu berpikir sesuatu terjadi atas alasan tersendiri.”
Dua musim saja Simeone membela panji Sevilla. Namun, dua musim itu pula yang sepertinya berpengaruh besar terhadap pandangannya mengenai sepak bola. Dua musim itu, dia ditangani Bilardo dan Luis Aragones. Keduanya berasal dari mazhab yang sama, tergolong pragmatis. Kemenangan adalah segalanya bagi mereka.
“Di sepak bola, hal terpenting adalah kemenangan. Soal cara meraihnya, saya tak peduli,” tegas Bilardo. Sementara itu, Aragones saat ditanya soal falsafah sepak bolanya berkata, “Menang, menang dan menang dan menang dan menang dan menang lagi, dan menang dan menang dan menang dan menang lagi, dan menang dan menang dan menang dan menang.”
11 Petarung
Tentu bukan kebetulan bila Simeone juga memiliki pandangan yang sama. Soal falsafah permainannya, pria berjuluk El Cholo itu berujar, “Gaya (sepak bola) Simeone adalah menang. Sejak menjadi pemain pun saya hanya fokus pada satu hal, yaitu menang.”
Soal perdebatan tentang possession football dan direct football, El Cholo berkata, “Ini bukan soal mengatakan kepada orang-orang apa yang ingin mereka dengar, tetapi soal kebenaran. Bila tak memiliki pemain-pemain yang mampu menguasai bola dengan baik, saya tak akan mencoba hal yang tak bisa dilakukan. Setiap pertandingan tidaklah sama. Menghadapi Sevilla berbeda dengan melawan Barcelona atau Valencia. Anda tidak bisa hanya bermain dengan satu cara atau dengan pemain yang itu-itu saja.”
Seperti halnya Aragones, Simeone menekankan pada keberanian, karakter, dan semangat kolektif. Itu sebabnya, dalam setiap laga, Atletico selalu ngotot dan penuh determinasi. Jika dulu Sepp Herberger meminta para pemain harus menjadi sebelas sahabat, Simeone juga menuntut para pemainnya untuk jadi sebelas petarung, sebelas matador.
Cholismo, begitulah sebutan untuk falsafah sepak bola yang diusung Simeone. “Itu adalah falsafah hidup yang diterapkan dalam kerja sehari-hari di klub. Itu menyangkut tentang fokus secara total, tak pernah kehilangan konsentrasi meski hanya sedetik, menunjukkan intensitas tinggi, dan selalu lapar kemenangan,” kata Koke, gelandang Los Colchoneros
Musim ini, terutama usai melewati adangan Barcelona di perempat final dan Bayern Muenchen di semifinal Liga Champions, falsafah Simeone dihujat. Banyak orang menilai Atletico tak seharusnya tampil defensif. Karena memiliki materi pemain apik, menurut banyak orang, Koke cs. seharusnya meladeni permainan Barcelona dan Bayern.
Simeone tentu tak akan ambil pusing soal hujatan itu. Sepak bola bukanlah pertunjukan sirkus yang harus selalu menghibur dan penuh atraksi. Sepak bola juga adalah pertempuran yang harus dimenangi. Untuk itu, hal terpenting adalah menyiapkan counter strategy yang tepat. Siapa yang lebih siap, dialah yang akan menang.
Itu pula yang pasti akan dilakukan Simeone di Milan dalam laga final Liga Champions menghadapi rival sekotanya, Real Madrid. Apalagi, Simeone tentu tak mau mengulangi kegagalan di final 2013-14 dari lawan yang sama. Dia pun pasti enggan menapaki jejak Hector Raul Cuper, pelatih Argentina sebelum dia yang menembus final Liga Champions. Dua kali melaju ke partai puncak, dua kali pula Cuper gagal.
Kejar Sejarah
Merebut trofi Big Ear sangat penting bagi Atletico. Seperti halnya kedatangan Maradona dan hat-trick juara Liga Europa bagi Sevilla, juara Liga Champions termasuk “unthinkable yet remarkable thing” bagi Atletico. Dua kali ke final, mereka hanya nyaris juara. Tinggal sejengkal dari trofi, mereka harus gigit jari karena gol lawan pada pengujung laga.
Tentu saja langkah Simeone dan para pejuangnya tak akan mudah. Catatan sejarah justru lebih memihak sang lawan. Madrid selalu memenangi All Spanish Final di Liga Champions. Selain menang atas Atletico pada 2013-14, mereka pun menaklukkan Valencia yang ditangani Cuper pada 1999-2000.
Lalu, sejak dikalahkan Liverpool pada final Piala Champions 1980-81, Los Blancos tak pernah lagi gagal di final antarklub Eropa. Empat kali di Liga Champions dan dua kali di Piala UEFA, mereka selalu menjadi kampiun.
Performa Madrid saat ini pun kian apik. Entrenador Zinedine Zidane terbukti jempolan. Coach Zizou begitu pandai dalam mengambil pelajaran-pelajaran penting. Salah satunya tengok saja perubahan yang terjadi di Madrid sejak kekalahan 0-1 dari Atletico di Divisi Primera.
Kekalahan itu seolah alarm yang membangunkan Zizou dari tidurnya. Setelah kekalahan itu, dia lebih adaptif, tak lagi terpaku pada sistem dan formasi tertentu. Zizou kian menyadari, walaupun penguasaan bola dan distribusi umpan adalah penting, menjaga keseimbangan di lapangan juga tak kalah penting. Dari sanalah dia mengedepankan fleksibilitas dalam sistem permainan.
Meski begitu, bukan berarti Madrid akan lebih berpeluang juara. Ada satu fakta tak mengenakkan yang mengiringi langkah Zizou di Milan nanti. Hingga saat ini, belum ada pelatih Prancis yang sanggup mengantar timnya merebut trofi Big Ear. Albert Batteux dua kali gagal, sementara Robert Herbin, Didier Deschamps, dan Arsene Wenger masing-masing sekali merasakannya.
Seperti halnya bagi Atletico, gelar juara bagi pelatih Prancis adalah hal yang belum terjangkau. Sungguh sebuah ironi tersendiri. Pasalnya, Piala/Liga Champions digagas oleh Gabriel Hanot, Jacques Ferran, dan Jacques de Ryswick yang berkebangsaan Prancis.
Selalu ada yang pertama. Di Milan, itu adalah keniscayaan. Bagi siapa pun yang meraihnya, kemenangan akan jadi tonggak sejarah baru. Akankah itu menjadi milik laskar Los Colchoneros yang dipimpin El Cholo? Ataukah justru direngkuh Coach Zizou dengan pasukan Los Blancos-nya? Kita tunggu saja.
*Penulis adalah kolumnis, jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.
Advertisement