Liputan6.com, Jakarta - Selepas subuh, warga Yogyakarta tengah bersiap melakukan aktivitas. Ada yang mandi, bersiap berangkat kerja, kuliah atau ada yang masih tertidur lelap.
Jarum jam menunjukkan pukul 05.53 WIB, tiba-tiba guncangan hebat melanda kota Pelajar itu. Semua panik. Ada yang terkurung di kamar mandi, dan sebagian lagi berlarian ke luar rumah menyelamatkan diri.
Tepat 10 tahun lalu, Sabtu 27 Mei 2006, lindu memporakporandakan Yogya. Guncangan selama 57 detik itu meluluh lantakkan rumah, bangunan, dan menimbun orang-orang yang baru saja memulai aktivitasnya.
Warga panik, tak tahu apa yang terjadi. Lindu itu berkekuatan sebesar 5,9 skala Ritcher, atau menurut data Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), magnitude-nya 6,3 SR dengan kedalaman 7,5 km.
Gempa terjadi di dekat permukaan di sepanjang patahan di Lempeng Sunda, sekitar 20 km selatan-tenggara Yogyakarta.
Baca Juga
Advertisement
Warga panik. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Warga dari dataran rendah berlarian menyelamatkan diri ke yang lebih tinggi karena takut tsunami. Sementara warga yang ada di sekitar Gunung Merapi melarikan diri ke tempat yang lebih rendah karena takut gunung itu meletus.
Korban terbanyak jatuh di wilayah Bantul. Pada hari terjadinya gempa, setidaknya 3.000 nyawa melayang di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta, dari total 6.234 jiwa manusia yang terampas.
Para korban dilarikan ke rumah sakit, menggunakan bus, mobil, atau berjalan kaki. Ambulans terbatas, juga dokter dan perawat yang jumlahnya tak sebanding dengan mereka yang datang.
Jaringan listrik dan komunikasi terputus, warga takut kembali ke rumah. Sebagian karena isu tsunami yang dihembuskan pihak tak bertanggung jawab. Mereka mengungsi ke masjid, gereja, dan rumah sakit. Jumlah pengungsi mencapai 200.000 orang.
"Kami masih trauma. Kami tak ingin pulang," kata Hendra, salah satu pengungsi di Gereja Katolik Marganingsih.
Saat itu puluhan bangunan, termasuk Candi Borobudur terdampak gempa.
Yogya Butuh Lindu?
Tak berhenti di situ, gempa susulan terus terjadi meski dalam skala kecil. Hingga kini, Yogyakarta terus dirundung gempa.
Pada 11 Oktober 2015, gempa dengan kekuatan yang hampir sama juga mengguncang Yogya. Kekuatan yang dikeluarkan 5,6 Skala Richter (SR). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan pusat gempa berada di 120 kilometer barat daya, Bantul.
Pada 4 Oktober 2015 lalu, empat kali Yogya diguncang gempa. BMKG mencatat, gempa terjadi pada pukul 07.06 WIB, 10.34 WIB, 23.40 WIB, dan 23.58 WIB.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Tony Agus Wijaya mengungkapkan, gempa itu terjadi di wilayah Bantul dan Gunungkidul.
Dia menuturkan, gempa pertama yang mencapai 3,3 SR terjadi di 119 km barat daya Bantul dengan kedalaman 27. Gempa kedua, 3,4 SR yang terjadi di 129 km barat daya Bantul dengan kedalaman 35 km.
Sementara gempa ketiga, 4,8 SR yang terjadi di 118 km barat daya Gunungkidul dengan kedalaman 10 km. Gempa terakhir 3,7 SR terjadi di laut tepatnya 144 km barat daya Gunungkidul dengan kedalaman 37 km.
Pada 25 September 2015, warga yang tengah beristirahat juga dikejutkan oleh lindu berkekuatan 4,6 Skala Richter (SR), sekitar pukul 20.28 WIB.
Di akhir Mei 2015, gempa berturut-turut mengoyang Yogya. Kamis 28 Mei 2015 siang, lini 3,4 SR melanda Wonosari, Gunungkidul. Selanjutnya, gempa 4,9 SR menggoyang Bantul dan Gunungkidul pada Minggu 31 Mei 2015. Terakhir, gempa 2,9 SR terjadi pukul 05.15 WIB.
Pada Rabu, 2 April 2014, lindu 4,5 SR menggoyang Yogyakarta. Gempa yang terjadi pada pukul 18.21 WIB itu berpusat di darat 28 km tenggara Yogyakarta.
Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono atau Mbah Rono menjelaskan, Yogya kerap dirundung gempa karena gempa ini justru dibutuhkan. Sebab, gunung berapi di daerah ini yakni Merapi perlu melepaskan energinya.
Selain itu gunung berapi ini juga perlu mengisi magma, karena sudah habis dimuntahkan pada 2010 lalu.
Mbah Rono mengatakan, masyarakat Yogyakarta tak perlu khawatir dengan gempa kecil yang saat ini sering terjadi. Sebab, gempa besar belum akan terjadi hingga waktu yang lama. Selain di 2006, gempa besar juga pernah terjadi di Yogyakarta pada 1943.
"Kalau sekarang ada gempa kecil-kecil kapan energi ini terkumpul. Kalau lihat periode tahun 1943 ke 2006 kan puluhan tahun. Masak sih nggak sabar? Jangan keburu terjadi masih lama untuk terjadi gempa besar," ujar Mbah Rono.