Liputan6.com, Jakarta - Janner Purba tak menyangka karirnya berakhir tragis di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal sang 'Wakil Tuhan' itu baru menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, pertengahan 2015.
Namun, perbuatan Janner tak mencerminkan profesinya sebagai 'pengetuk palu' keadilan. Hakim tindak pidana korupsi (tipikor) itu ditangkap Satgas KPK usai diduga menerima suap dari pihak berperkara di Pengadilan Tipikor Bengkulu.
Komisi Yudisial (KY) menilai perbuatan Janner membuat kepercayaan publik terus menurun terhadap lembaga peradilan. Apalagi, Janner bukan hakim pertama yang ditangkap KPK. Sebelumnya sudah ada hakim-hakim lain yang 'bermain' dengan perkara yang disidangkan.
"Komisi Yudisial menyatakan keprihatinan yang mendalam atas peristiwa tersebut. Persepsi dan kepercayaan publik diperkirakan akan terus menurun dengan berulangnya kejadian serupa," ujar Komisioner sekaligus Juru Bicara KY, Farid Wajdi, belum lama ini.
Sedianya, Janner akan dipromosikan menjadi Ketua PN Kisaran, Sumatera Utara. Namun, hal itu harus dikubur dalam-dalam. Mengingat, promosi hakim dan jabatan karir ada penilaian dari Mahkamah Agung (MA).
Juru Bicara MA, Hakim Agung Suhadi mengatakan, setiap kenaikan jabatan hakim akan diproses melalui Tim Promosi dan Mutasi (TPM) MA. Tim ini diisi oleh orang-orang dari unsur Dirjen dan Badan Pengawas MA.
"Dosa dan kesalahan hakim itu (dicatat) di situ. Kalau TPM bilang baik, maka dapat promosi," kata Suhadi.
Kelakuan Janner menambah panjang daftar hakim-hakim nakal. Kata dia, MA terus menerus mengingatkan agar hakim selalu berjalan pada relnya. Untuk itu, Suhadi berharap, kejadian Janner menjadi peringatan bagi hakim lain, agar menjadi yang terakhir.
"Ini pelajaran bagi MA. Hakim harus baik dalam melaksanakan tugas. Dia (Janner) itu hakim tipikor yang khusus menangani korupsi. Harusnya dia punya integritas lebih baik dari yang lain," kata Suhadi.
Sebelumnya, KPK menetapkan 5 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pengamanan sidang perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu di Pengadilan Tipikor Bengkulu. Kelima orang ini menjadi tersangka setelah tertangkap tangan oleh Satgas KPK di Bengkulu, Senin 23 Mei 2016 sore.
Mereka adalah hakim tindak pidana korupsi (tipikor) sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba, hakim adhoc tipikor PN Bengkulu Toton, dan Panitera PN Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy.
Lalu ada mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Muhammad Yunus Bengkulu Syafri Syafii dan mantan Wakil Direktur Keuangan RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu, Edi Santroni.
Baca Juga
Advertisement
Janner, Toton, serta Badaruddin diduga menerima uang Rp 650 juta dari Syafri dan Edi. Diduga uang sebanyak itu merupakan 'pelicin' agar Syafri dan Edi dapat divonis bebas dari perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr M Yunus.
Atas perbuatannya, Janner dan Toton sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sementara Badaruddin alias Billy yang juga menjadi penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sedangkan Syafri dan Edi selaku pemberi suap disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Adapun perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu ini bermula saat Junaidi Hamsyah menjabat Gubernur Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor Z.17XXXVIII tentang Tim Pembina Manajemen RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu. SK itu diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas.
Berdasarkan Permendagri tersebut, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina. Akibat SK yang dikeluarkan Junaidi itu, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp 5,4 miliar.
Kasus itu pun bergulir ke persidangan di Pengadilan Tipikor Bengkulu dengan terdakwa Syafri dan Edi. Dalam persidangan perkara tersebut, PN Bengkulu kemudian menunjuk tiga anggota majelis hakim, yakni Janner, Toton, dan Siti Insirah.