Liputan6.com, Jakarta Jarwo kebingungan saat diseret Diah ke halaman belakang tempat kerjanya yang berantakan seperti gudang. Ia makin bingung lagi, saat teman kerjanya ini menunjukkan sekotak korek api padanya. Sebatang korek, dihargai Diah Rp 10 ribu. Tentu saja Jarwo terkejut bukan kepalang.
“Larang tenan, nggo opo nek nggon aku. Wegah aku ora iso (Mahal banget, memang buat apa ini. Aku enggak mau),” kata Jarwo sambil bersungut.
Tapi Diah belum selesai. Setelah clingak-clinguk sebentar, ia lalu melepaskan celana dalamnya dan mengungkapkan maksudnya secara lebih gamblang. “Kowe iso ndelok iki,” kata Diah sambil menunjuk roknya, “tapi ora oleh didemok.” Artinya, Jarwo bebas melihat, tapi tak boleh memegang bagian paling rahasia dari tubuh Diah.
Jarwo menelan ludah. Selembar uang sepuluh ribu rupiah diangsurkannya pada Diah. Jarwo, sudah lupa dengan pizza di atas kompor yang sedari tadi diributkannya.
Baca Juga
Advertisement
Ini, adalah premis Prenjak: In The Year of Monkey, film pendek garapan sutradara muda Wregas Bhanuteja yang baru saja memenangkan Leica Cine Dicovery Prize tahun 2016. Ini adalah penghargaan untuk karya film pendek terbaik di Semaine de La Critique , atau Pekan Kritik, salah satu program pendamping dalam Festival Film Cannes.
Merasa pernah melihat adegan dalam film Prenjak ini sebelumnya? Ya, hal yang sama sebelumnya pernah disertakan Garin Nugroho dalam dua filmnya, Daun di Atas Bantal dan Aach… Aku Jatuh Cinta. Tak usah heran, adegan ini memang diangkat dari kisah nyata. Konon katanya, dulu di Yogyakarta memang ada sejumlah wanita yang menjajakan korek api agar pembeli bisa melihat 'sesuatu' di balik rok atau jarik mereka.
Meski mengangkat hal yang sama, Prenjak: In The Year of Monkey membangun satu struktur narasi yang lebih mendalam. Dan Prenjak, melakukan hal ini dengan cara yang sederhana. Baik plot, latar, maupun teknis pengambilannya. Namun kesederhanaan ini, termasuk baku dialog yang seluruhnya terjadi dalam Bahasa Jawa, membuat film ini terasa begitu alami. Apa yang terjadi dalam film ini, terasa begitu dekat.
Yang membuat film ini lebih memikat, tarik menarik emosi antara Jarwo dan Diah dikemas dalam bentuk dark comedy. Di satu sisi, penonton mengerti bahwa tekanan ekonomi memaksa Diah untuk mengekspos bagian tubuhnya yang paling pribadi. Namun di sisi lain, penonton juga diajak menertawakan kejadian tragis ini. Entah lewat obrolan keduanya untuk melepaskan rasa rikuh, atau saat Jarwo menyalakan korek terlalu dekat dengan tubuh Diah.
Ngomong-ngomong soal bagian intim, Wregas menampilkan satu keputusan yang cukup berani dalam Prenjak. Yakni menampilkan alat kelamin secara frontal, dalam pengambilan shot yang cukup dekat. Visualisasi ini, tak hanya memberi efek kejut—terutama bagi publik Indonesia yang terbilang jarang menyaksikan film lokal dengan adegan seperti ini.
Visualisasi organ intim ini, sekaligus juga berbicara sebagai metafora, saat muncul kelamin milik anak kecil di bagian film selanjutnya. Gambaran kelamin milik anak kecil ini, ditambah dengan dialognya yang naif, juga bisa dilihat sebagai kontras antara dunia anak-anak yang lugu dengan rumitnya dunia orang dewasa yang disajikan sebelumnya.
Lima kali membuat film pendek, adalah pengalaman yang cukup bagi Wregas untuk memahami benar bagaimana cara memanfaatkan ruang yang terbatas dalam film pendek. Ia tahu kapan harus memanfaatkan dialog dan melepaskannya. Di akhir film misalnya, pertanyaan mengapa Diah sampai menjual korek api dijawab lewat rangkaian adegan minim dialog, namun dengan narasi yang utuh.
Setelah satu pertanyaan dijawab, pertanyaan lain justru beranak pinak setelah film usai. Misalnya saja soal siapa Diah sebenarnya, atau hubungannya dan Jarwo setelah kejadian dengan korek tersebut. Ya, film Prenjak, memang selesai dalam waktu 12 menit, namun film ini akan bercokol lama di benak penonton, lama setelah film ini selesai diputar.