Liputan6.com, New York - Perempuan itu sedang menghabiskan akhir pekan di New York, menyusuri Times Square, melewati seniman jalanan Naked Cowboy yang sedang beraksi, juga restoran Elmos.
Tak ada yang aneh dengan penampilan perempuan 60 tahun itu. Sepintas, pengusaha dry cleaning itu terlihat seperti imigran dari Asia yang menjalani kehidupan 'American Dream'.
Sama sekali tak terlintas dalam bayangan, ia adalah bibi Kim Jong-un, penguasa muda Korea Utara yang mengancam membumihanguskan Kota New York. Perempuan itu adalah bagian dari kaum 'darah biru' Korut.
Baca Juga
Advertisement
Sudah 18 tahun ia tinggal di Amerika Serikat, bersama suami dan 3 anaknya -- dengan identitas baru yang dirahasiakan. Sementara, nama aslinya adalah Ko Yong-suk.
Ia membelot dari Korea Utara dan mendapat perlindungan dari CIA.
"Teman-teman menganggapku orang yang beruntung karena memiliki segalanya," kata Ko Yong-suk kepada Washington Post, seperti dikutip pada Sabtu (28/5/2016).
"Anak-anakku masuk sekolah bagus dan sudah sukses sekarang. Aku juga punya suami yang bisa memperbaiki apa pun. Tak ada hal yang bisa membuat kami iri."
Sang suami, yang dulu dikenal sebagai Ri Gang, kemudian menimpali, "Saya pikir, kami hidup di dalam American Dream."
Meski tak mau fotonya dipublikasikan, dengan alasan keamanan, Ko Yong-suk memiliki kemiripan dengan Ko Yong-hui, kakak perempuannya yang adalah istri Kim Jong-il sekaligus ibu Kim Jong-un.
Dua gadis dari keluarga sederhana itu masuk ke lingkaran kaum elite Korut, ketika Kim Jong-il terpesona pada Ko Yong-hui -- yang seorang seniman -- dan menjadikannya istri ketiga. Pasangan itu mendapatkan 3 anak, salah satunya Kim Jong-un.
Ko mengaku dipasrahi merawat Kim Jong-un saat 'Supreme Leader' itu bersekolah di sana.
Namun, pada 1998, ketika Kim Jong-un masih berusia 14 tahun, Ko dan Ri memutuskan untuk lari. Ko dan Ri tak pergi ke Korea Selatan, namun ke Amerika Serikat.
Kala itu, sang kakak perempuannya, satu-satunya benang merah yang menghubungkan mereka dengan rezim, sakit parah akibat kanker payudara -- meski ibu Kim Jong-un baru meninggal dunia pada 2004.
Ri dan Ko mengaku, saat itu perawatan kanker di Eropa tak mempan bagi saudaranya. Jadi mereka memutuskan untuk ke Amerika Serikat. Keduanya berdalih, kepergian mereka ke AS adalah demi menyelamatkan nyawa ibu Kim Jong-un.
Ko Yong Hui, kata mereka, adalah perempuan ambisius. Ia ingin anak lelakinya menjadi penerus 'takhta' kekuasaan Korut. Dalam perjalanannya, banyak orang yang tak suka padanya.
"Sebagai ipar, otomatis Anda akan merasa terancam. Sebab, siapa pun bisa menghilangkan Anda dengan mudah."
Mengganti Popok Kim Jong-un
Di Negeri Paman Sam, Ko dan Ri memiliki rumah besar dua lantai. Ada 2 mobil di jalan masuk, TV besar di ruang tamu, panggangan barbekyu di halaman belakang.
Keluarga itu kerap berlibur, ke Las Vegas, misalnya. Dua tahun lalu, mereka pergi ke Korea Selatan, di mana Ko mengunjungi istana yang ia lihat dalam K-drama.
Meski Ko dan Ri tak berjumpa dengan keponakannya selama 20 tahun, mereka masih dianggap sumber informasi berharga soal rezim Korut yang paling menutup diri di dunia.
Salah satunya, mereka menguak fakta bahwa Kim Jong-un lahir pada 1984, bukan pada 1982 atau 1983 seperti yang dikira sebelumnya.
Alasan mereka meyakininya, tahun kelahiran Kim Jong-un sama dengan putra pertama mereka. "Ia dan anak kami teman main saat kecil. Aku mengganti popok mereka berdua," kata Ko, tertawa.
Hingga saat ini, Ri masih simpatik dengan rezim Pyongyang dan terus mendapatkan izin untuk kembali ke Korut. Keduanya juga menjaga ucapan tentang keponakan yang berkuasa itu -- yang mereka panggil sebagai 'Marshal Kim Jong Un'.
Ko mengaku, saat berada di Bern, Swiss, ia dan Kim Jong-un tinggal di rumah yang wajar dan menjalani hidup sebagai keluarga.
"Aku memposisikan diri sebagai ibunya. Memintanya untuk membawa teman-temannya," kata dia. "Aku membuat jajanan untuk anak-anak. Mereka makan kue dan bermain lego."
Sebagai pemegang paspor diplomatik, Ri bolak balik antara Korut dan Swiss. Sementara, Ko membawa anak-anak Kim Jong-il ke Euro Disney, yang kini menjadi Disneyland Paris. Kim Jong-un juga pernah ke Tokyo Disneyland bersama ibunya beberapa waktu sebelumnya.
Kim Jong-un, ujar Ko, suka gim dan mesin. Ia penasaran bagaimana kapal bisa mengambang dan pesawat mampu terbang.
"Dia bukan tipe pembuat masalah, tapi emosian dan tak kenal toleransi," kata Ko.
Suatu hari ibunya memintanya berhenti main dan lebih banyak belajar, Kim Jong-un tidak melawan. Ia protes dengan cara lain, misalnya mogok makan.
Kim senang pergi ke rumah musim panas, menghabiskan waktu di Wonsan, di mana keluarga memiliki pantai besar, atau di kediaman utama mereka di Pyongyang, dengan bioskop dan banyak ruang untuk bercengkerama.
Kim Jong-un lalu mulai bermain basket, dan ia menjadi terobsesi. Kim adalah penggemar Michael Jordan dan belakangan mengundang Dennis Rodman sebagai tamu negara. "Dia biasa tidur...bersama bola basket. "
Karena memiliki tubuh lebih pendek dari teman-temannya, sang ibu mengatakan kepadanya bahwa jika ia bermain basket, Kim Jong-un akan menjadi lebih tinggi.
Sebagai orang dekat penguasa rezim, Ko dan Ri menikmati banyak kemewahan. Mereka minum cognac dicampur air bersoda dan makan kaviar di Pyongyang. Keduanya kerap naik Mercedes-Benz, semobil dengan Kim Jong-il.
Sementara dunia baru tahu Kim Jong-un dipilih sebagai putra mahkota pada Oktober 2010, saat namanya diumumkan dalam Konferensi Partai Pekerja di Pyongyang, Ko mengatakan, sudah sejak 1992 ada pertanda bahwa pemuda itu akan mewarisi Korea Utara.
Sinyal itu terlihat pada ulang tahun ke-8 Kim yang dihadiri oleh petinggi Korea Utara. Kim Jong-un mendapat hadiah seragam jenderal dihiasi dengan bintang-bintang.
Kala itu, para jenderal sungguhan, dengan baju penuh bintang penghargaan, membungkuk dan menghormat ke arah Kim Jong-un. "Tak mungkin baginya untuk tumbuh sebagai orang normal ketika orang-orang di sekelilingnya memperlakukan dia seperti itu," kata Ko.
Kini, Ri Gang mengaku ingin kembali ke Pyongyang. Untuk meredakan ketegangan antara kampung halamannya dengan Amerika Serikat.
"Tujuan utamaku adalah kembali ke Korea Utara. Aku memahami Amerika, juga Korea Utara. Jadi aku merasa bisa jadi negosiator bagi keduanya," kata dia. "Jika Kim Jong-un masih sama seperti yang kukenal dulu, aku akan bisa bertemu dan bicara dengannya."
Advertisement