Liputan6.com, Jakarta - PT PLN (Persero) berminat untuk mengembangkan energi nuklir sebagai sumber listrik. Namun rencana pengembangan tersebut masih terkendala alasan politik.
Direktur Utama PLN Sofyan Basyir mengatakan, PLN tertarik untuk mengembangkan energi nuklir sebagai sumber kelistrikan. Alasannya, biaya produksi listrik dari energi nuklir jauh lebih murah ketimbang energi lain. Dengan biaya produksi yang rendah tersebut akan membuat tarif listrik jauh lebih rendah.
Di beberapa negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS) telah menggunakan energi nuklir untuk sumber kelistrikan melalui PLTN sejak puluhan tahun lalu. negara-negara tersebut mengembangkan energi nuklir sebagai sumber kelistrikan karena memang tarif listrik yang dihasilkan murah sehingga sangat berpengaruh pada kemajuan industri.
"Wajib dong pakai nuklir, semua di luar sudah menggunakan. Nuklir sudah dikembangkan di Eropa dan Amerika sekitar 60 tahun yang lalu. Mereka berjaya industrinya karena sumber energi sangat murah lewat teknologi nuklir,"kata Sofyan, di Jakarta, Senin (30/5/2016).
Baca Juga
Advertisement
Sudah banyak negara yang menawarkan kerja sama penggunaan teknologi nuklir sebagai sumber kelistrikan. Mayoritas negara tersebut adalah negara maju. "Amerika ada, Tiongkok ada, Rusia ada. Hampir semua negara menawarkan. Perancis rajanya nuklir. Seluruh listrik Eropa dari Prancis," tutur Sofyan.
Namun menurut Sofyan, saat ini PLN belum bisa menyerap listrik dari energi nuklir, karena masih menjadi perdebatan politik. Meski begitu PLN tertarik mengembangkan energi tersebut karena murah. "Nuklir sih belum. Itu kan urusan politik ya. Tapi saya tertarik kok. Murah soalnya," ujarnya.
Dalam Rencana Usaha Penyedia Tenaga Listrik (RUPTL) 2016 – 2025, Pembangkit Listrik tenaga Nuklir (PLTN) memang belum menjadi pilihan bagi PLN untuk sumber kelistrikan.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko mengatakan, porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi kelistrikan pada 2025 sebesar 25 persen, namun jika porsi tersebut tidak tercapai maka akan dicari alternatif sumber energi lain.
Sujatmiko menegaskan, sumber energi lain yang dipilih tersebut adalah energi gas yaitu melalui Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), bukan Pembangkit Tenaga Nuklir (PLTN). "Opsi yg diambil dalam draf RUPTL ini adalah menggunakan PLTG," tegas Sujatmiko.
Dalam draf final RUPTL 2016-2025, porsi EBT pada pembangkit hanya 19,6 persen. Sehingga masih ada kekurangan pasokan sebesar 5 persen atau setara 27 Tera Watt hour (TWh) energi listrik dari EBT yang dibutuhkan untuk memenuhi target 25 persen porsi EBT pada tahun 2025 sebagaimana diamanatkan dalam draf Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2015-2034.
"Dalam draf final RUPTL 2016-2025 porsi EBT di pembangkitan tenaga listrik hanya mencapai 19,6 persen pada tahun 2025," ungkap Sujatmiko.
Sujatmiko melanjutkan, dari 27 TWh energi listrik tersebut memang dapat dipenuhi dari PLTN dengan kapasitas kurang lebih 3,6 Giga Watt (GW) atau pembangkit EBT lain yang siap untuk dikembangkan sebesar 14,4 GW atau PLTG setara 5 GW.
"Jadi PLTN tidak dipertimbangkan untuk dimanfaatkan dalam draf RUPTL PLN 2016-2025 untuk menutupi kekurangan target EBT," tegas Sujatmiko.