Liputan6.com, Washington DC - Pada usia 49 tahun Norma Bastidas meraih apa yang tak sanggup dilakukan orang biasa. Ia adalah seorang ultra-marathoner -- yang sanggup berjalan kaki 150 mil melintasi gurun terik di Namibia, juga berlari di atas tundra beku di Antartika.
Dalam sejumlah kompetisi, tak jarang Bastidas melaju sendirian di jalur ekstrem -- hanya ditemani kata hati dan derap sol sepatunya yang menyentuh tanah berlumpur atau lapisan es.
"Aku selalu mencoba untuk baik pada diriku sendiri," kata dia seperti dikutip dari The Freedom Project CNN, Senin (30/5/2016). "Karena dunia tak selalu baik pada kita."
Baca Juga
Advertisement
Bagi Bastidas, lari adalah pelepasan. Aktivitas yang bermanfaat untuk membersihkan pikirannya dari penghakiman pada masa lalu, juga dari emosi-emosi negatif yang memenuhi benaknya.
"Energi akan terkuras jika saya membiarkan perasaan tersebut menguasai hidup saya," kata dia.
Pengendalian emosi Bastidas diperolehnya dari mempelajari Taoisme -- ajaran untuk hidup sesuai aliran air, mengikuti naik turunnya kehidupan.
Kisah Tragis
Bastidas lahir pada 1 November 1967 di Mazatlan, Meksiko. Saat berusia 11 tahun, ayahnya meninggal dunia. Sejak saat itu permasalahan mulai terjadi.
"Situasi memburuk. Ibuku adalah orangtua tunggal dengan 5 anak," kata dia. "Kami semua harus bekerja, tak ada jaring pengaman ekonomi bagi kami."
Alih-alih membantu keluarga yang sedang berjuang itu, Bastidas mengaku, kerabatnya justru memanfaatkan kerentanan mereka.
"Pamanku yang tunanetra, yang aku ikut merawatnya, justru tega memerkosaku," kata dia.
Kekerasan yang dialami Bastidas mempengaruhi hidupnya secara mendalam.
Beberapa tahun kemudian, Bastidas berusia 19 tahun. ia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Seorang perempuan setempat menyadari kemolekannya dan menawarkan kerja sebagai model di Jepang.
"Aku ingat, ibuku berkata, 'Aku takut, tapi aku tak bisa menghentikanku'," kata dia. "Karena hanya itu satu-satunya cara bagimu mendapatkan kehidupan yang lebih baik."
Namun, impian indah itu tak terjadi.
Bastidas mengatakan, saat ia tiba di Jepang, agen merampas paspornya dan menempatkannya di sebuah apartemen.
Agen tersebut wanti-wanti bahwa tiket pesawat, apartemen, dan makanan yang ia terima tidak gratis.
Merasa bakal dapat banyak uang dari menjadi model, Bastidas tak keberatan.
Namun, tak ada kerja modeling yang dilakukan, tak ada audisi dilakukan, perempuan itu justru dibawa ke sebuah klub di Tokyo.
"Apa yang tak ku ketahui, aku dijual pada penawar tertinggi," kata perempuan berlesung pipit itu. "Aku dibeli oleh seorang tokoh penting dan menjadi propertinya."
Tak bisa bicara Bahasa Jepang, Bastidas terjebak. Ia juga tak sanggup melapor ke polisi atau menelepon rumah.
"Aku punya utang yang harus dibayar. Keluargaku juga tak sanggup mengirimkan uang," kata dia. "Apalagi aku tak memegang paspor dan dianggap PSK."
Suatu hari, saat mengalami kekerasan, ia melapor ke aparat. "Saat itu aku dijejali obat, dipukuli," kata Bastidas. "Aku mendatangi polisi, namun mereka tak melakukan apapun. Aparat bahkan berkata, 'kau bukan gadis baik-baik, kau bekerja di bar'."
Meraih Rekor Dunia
Titik Balik
Setelah beberapa tahun, Bastidas akhirnya lari ke Kanada, dengan bantuan biarawati. Ia kemudian menikah dan pindah ke Vancouver, Kanada.
Namun, Bastidas mengalami kecanduan alkohol -- yang ia gunakan untuk menekan rasa sakit jiwanya akibat trauma pada masa lalu. Akhirnya, pernikahannya gagal, dan perempuan itu tak bisa menemukan pekerjaan yang mapan.
Titik balik dalam hidup Bastidas akhirnya terjadi setelah ia mengetahui, putra tertuanya yang berusia 11 tahun didiagnosa dengan gangguan cone-rod retinal dystrophy -- penyakit degeneratif mata yang mengarah ke gangguan penglihatan.
"Orang pertama yang memerkosaku, pada usia 11 tahun, adalah seorang kerabat yang tunanetra. Aku merasa tak bisa lepas dari masa laluku," kata dia.
Namun, Bastidas tak mau kembali menenggak alkohol. "Aku mulai berlari saat malam. Karena aku tak ingin anak-anakku mendengarku sedang menangis."
Lari memperkuat fisik juga jiwa Bastidas. Dalam 6 bulan setelah mengenakan sepatu larinya untuk kali pertama, Bastidas memenuhi syarat untuk ikut Boston Marathon.
"Aku menjadi pelari yang luar biasa karena tingkat stres yang harus kukelola juga luar biasa."
Lari memberikan kesan bahwa ia bisa mengendalikan sesuatu. Segera setelah itu, Bastidas naik tujuh puncak tertinggi di setiap benua, untuk mengumpulkan uang untuk mencari penyembuhan bagi anak-anak yang menderita kebutaan genetik.
Kemudian, pada 2013, ide besar tercetus dalam benaknya. Ia menelepon temannya, Brad Riley, yang mengelola kelompok anti-perdagangan manusia, iEmpathize.
Dari korban, Bastidas menjadi penyintas (survivor), dan kemudian aktivis garda depan.
Inspirasi
Ia ingin mengabdikan dirinya untuk memberikan semangat pada para korban perdagangan manusia.
Bastidas pun berniat memecahkan rekor dunia, berlari di jalur yang dikenal sebagai rute perdagangan manusia.
Niatnya tercapai pada 2014. Selama 65 hari, perempuan tangguh itu berlari, bersepeda, dan berenang dari Cancun, Meksiko ke Washington DC.
Selama itu Bastidas menempuh perjalanan berbahaya sepanjang 3.762 mil, yang diwarnai kerusakan perangkat teknologi, serangan hewan liar, dan kecelakaan.
iEmpathize merekam perjalanan itu dalam sebuah film dokumenter. Judulnya, Be Relentless.
Bastidas ingin menyadarkan bahwa seorang korban perdagangan manusia bisa bangkit.
Seruan juga ia alamatkan pada mereka yang beruntung tak terjebak di dalam praktik menyeramkan itu: jangan pernah menyalahkan korban.
Meski menjaga pikirannya bersih saat berlari, Bastidas menolak untuk lupa tentang masa lalunya sebagai korban perdagangan manusia.
"Untuk menjadi aktivis sejati, seseorang harus bisa merasakan rasa sakit dan penghinaan. Aku mengalami itu dan terutama ketika begitu banyak orang masih menyalahkan korban," kata dia.
Salah satu momentum luar biasa dalam hidupnya terjadi saat ia hampir mencapai garis finis, yang akan membuatnya tercatat dalam Guinness World Record.
Ia disambut teriakan penyemangat dari kerumunan mantan korban perdagangan seksual -- yang kemudian ikut berlari bersamanya menuju garis finis di Washington DC.
Bastidas ingat benar apa yang diucapkan filsuf, Lao Tzu: "Perjalanan seribu batu bermula dari satu langkah"
Perempuan itu berharap, langkah yang ia mulai diikuti banyak korban perdagangan manusia lainnya.
"Seseorang yang pernah hidup dalam mimpi buruk sekarang menjalani impiannya. Itulah rekor dunia sejati..."
Advertisement