Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli memasang target realistis proyek pembangkit listrik maksimal sebesar 18 ribu Megawatt (Mw), lebih rendah dari program 35 ribu MW.
Penurunan target tersebut salah satunya karena alasan ingin menyelamatkan PT PLN (Persero) dari kebangkrutan.
Rizal dalam Pertemuan Koordinasi Implementasi Program 35 ribu Mw dan Transmisi 46 ribu Km, menceritakan, usai dilantik sebagai Menko Bidang Kemaritiman, dirinya meminta kepada Presiden Jokowi untuk mengevaluasi program 35 ribu Mw.
Baca Juga
Advertisement
Hal ini mengundang reaksi keras dari sejumlah pihak yang meragukan kemampuan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu.
“Karena kami sudah mempelajari sebelumnya dengan studi dan wawancara di dalam maupun di luar, target 35 ribu kurang realistis. Perkiraan kami paling banter terealisasi 17 ribu-18 ribu Mw sampai 2019. Tapi banyak dari kita yang mohon maaf 'Asal Bapak Senang', memasang target berlebihan, kurang realistis,” tegasnya di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Salah satu alasan Rizal Ramli meminta Presiden Jokowi mengevaluasi, salah satunya untuk menghindari PLN dari kebangkrutan. Pasalnya, kata dia, seandainya pemerintah dapat merealisasikan proyek 35 ribu Mw, maka akan terjadi kelebihan permintaan listrik.
Kondisi tersebut akan membebani keuangan PT PLN (Persero). Perusahaan pelat merah tersebut mempunyai kewajiban untuk membayar listrik yang telah terbangun, baik apakah listrik digunakan maupun tidak karena itu sudah sesuai dengan Power Purchasing Agreement (PPA).
“Berdasarkan PPA, PLN harus bayar 70 persen atas listrik yang telah terbangun, digunakan atau tidak. Kalau itu dilakukan, PLN punya kewajiban membayar US$ 10,7 miliar per tahun. Ini akan menjadi kesulitan PLN. PLN sudah banyak bon, lalu ditambah kewajiban lain untuk sesuatu yang tidak digunakan,” terangnya.
Dalam kesempatan itu juga, Rizal kembali menyampaikan prestasinya yang sukses menyelamatkan PLN dari kebangkrutan pada tahun 2000. Ketika itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini nyaris bangkrut dengan catatan ekuitas negatif Rp 9 triliun dan aset hanya Rp 50 triliun. Rizal Ramli yang saat itu menjabat sebagai Menko Bidang Perekonomian, tidak memberikan suntikan modal kepada PLN. Namun menyarankan perusahaan itu melakukan revaluasi aset.
“Hasilnya, aset PLN langsung naik dari Rp 50 triliun menjadi lebih dari Rp 200 triliun. Selisih revaluasi aset dimasukkan ke modal, sehingga modal yang tadinya minus Rp 9 triliun menjadi positif Rp 104 triliun. Inilah cara menyelamatkan BUMN tanpa uang negara, dan kami yang melakukannya pertama kali di Indonesia,” papar Rizal.
Atas dasar itu, dia memperingatkan agar jangan hanya bernafsu membangun 35 ribu Mw, namun tidak memikirkan dampaknya bagi PLN dan negara. Sebab Rizal tidak ingin PLN mengalami nasib serupa seperti 15 tahun lalu diambang kebangkrutan.
“Kalau sampai berulang bangkrut lagi, default (gagal bayar utang), imbasnya ke perusahaan lain, dan ke negara karena PLN harus bayar US$ 10,7 miliar setiap tahun. Jadi sudah bilang ke Pak Jokowi sejak awal, ini cuma bisa 18 ribu Mw, 35 ribu Mw kan target. Saya malah pasang badan buat beliau (Jokowi) supaya PLN tidak bangkrut,” tandas Rizal.