Liputan6.com, Jakarta - Ada yang tidak biasa di Jalan Asia Afrika, Bandung Rabu pagi. Kawasan di jantung Kota Kembang itu dipadati ribuan warga. Mereka memperingati Hari Lahir Pancasila.
Namun, ada yang istimewa. Karena kota dengan julukan Paris van Java ini, menjadi puncak acara peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan di Gedung Merdeka.
Presiden Joko Widodo pun hadir di tengah acara ini. Warga Bandung sangat antusias, menyambut Jokowi dan pejabat lainnya. Mereka datang berbondong-bondong, menyaksikan kemeriahan atraksi drum band dan pawai budaya dari para pemuda Bandung.
Beberapa peserta pawai dengan segala pernak-pernik pun ikut memeriahkan acara ini. Mereka berjalan dari arah perempatan Jalan Tamblong hingga Alun-alun Kota Bandung.
Pada barisan pertama, diisi atraksi grup drum band Pemkot Bandung, disusul pasukan Paskibraka, dan Pramuka. Selanjutnya ada warga yang bergaya seperti Bung Karno dan Hatta, naik mobil hartop.
Di belakangnya disusul Komunitas Sepeda Baheula dengan nuansa tempo dulu. Para peserta mengenakan beragam kostum, mulai dari pejuang zaman dulu hingga bergaya ala noni-noni Belanda.
Kemeriahan pawai diakhiri dengan penampilan sejumlah perempuan Kota Fashion ini, yang berlenggak-longgok dengan busana tradisional yang telah dimodifikasi.
Hajatan besar ini dilanjutkan dengan pidato Presiden Jokowi di Gedung Merdeka. Dalam rangkaian acara ini, Jokowi bersama sejumlah pejabat negara rencananya akan napak tilas ke Penjara Banceuy, tempat pesakitan Bung Karno dulu.
Kota Bandung memang sengaja menggelar acara Bulan Bung Karno selama Juni 2016. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menginginkan, acara ini digelar untuk memperingati sosok pendiri bangsa Indonesia, Sukarno, yang patut diteladani.
Kamil berharap warganya tak melupakan jejak sejarah Sukarno. Apalagi mengingat keterikatan Bung Karno dengan Kota Bandung -- tempat dia menempuh pendidikannya dan mengecap kisah asmara.
Advertisement
Dalam sambutannya, Jokowi mengatakan, betapa beruntungnya Bangsa Indonesia karena memiliki Pancasila.
Keyakinan Jokowi diungkapkan setelah dia banyak berkunjung ke beberapa negara di Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Asia. Di sana, dia banyak bertemu dengan para pimpinan negara-negara besar dunia.
"Dengan pertemuan itu, membuat saya semakin yakin, membuat saya semakin bersyukur bahwa kita punya Pancasila," kata Jokowi dalam pidatonya, Bandung, Rabu 1 Juni 2016.
Jokowi mengatakan, banyak negara di dunia sedang gelisah, galau dan resah karena toleransi mereka terkoyak. Bahkan, solidaritas sosial mereka terbelah, ketertiban sosial mereka terganggu.
Di negara-negara besar itu, kata Jokowi, juga ada ekstremisme, terorisme, dan radikalisme. "Mereka juga goyah mengelola keragaman, mereka sibuk mencari referensi nilai-nilai."
Dalam kegoyahan negara-negara itu, lanjut Jokowi, Indonesia beruntung memiliki Bhineka Tunggal Ika. "Beragam tetapi bisa menjaga toleransi dan ke-bhinnekatunggalika-an dan menjadi referensi negara lain."
"Semua itu karena kita punya Pancasila," mantan Wali Kota Solo itu menegaskan.
Hari Libur Nasional
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga menetapkan 1 Juni sebagai hari libur nasional, diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.
Jokowi menegaskan, Pancasila sebagai dasar bangsa harus diketahui asal-usulnya. Dari generasi ke generasi harus diamalkan dan menjadi ideologi yang bekerja dan dijaga kelanggengannya.
"Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah. Dengan bismillah, dengan Keppres tanggal 1 Juni ditetapkan, diliburkan dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila," kata Jokowi.
Tepuk tangan kemudian menggema di Gedung Merdeka. Senyum Jokowi mengembang, sembari melanjutkan menandatangani keppres tersebut. Dia didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Saat menutup pidato Hari Lahir Pancasila, Megawati Soekarnoputri menangis, teringat sang Bapak Proklamator.
"Dengan spirit Pancasila 1 Juni 1945, jadikan lah Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia," ucap Megawati sambil terisak, disambut tepuk tangan hadirin.
Menurut Ketua Umum DPP PDIP itu, Pancasila 1 Juni 1945 adalah prinsip dasar, sekaligus jalan penerang bangsa Indonesia.
"Teruslah bersama, agar masyarakat adil makmur sambil terwujud Indonesia raya yang sejatinya merdeka," pesan dia.
Megawati mengungkapkan, Bung Karno selalu menegaskan bukan dia yang menciptakan Pancasila. Namun, tak dapat dipungkiri, konsepsi Pancasila hasil pergulatan Bung Karno sejak muda.
"Karena itu saat Doktor Radjiman Widyodiningrat mengajukan pertanyaan tentang dasar negara, maka Bung Karno tanpa teks mampu menjawab dalam sebuah pidato yang sangat sistematis dan jernih dalam pikiran, dan disebut sebagai dasar negara yaitu Pancasila," dia memaparkan.
Dengan begitu, menurut Megawati, tanpa adanya pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, bisa dipastikan tidak akan ada Pancasila dan juga untaian sejarah lahirnya negara Indonesia.
Melihat fakta-fakta sejarah itu, kata Megawati, sudah selaiknya 1 Juni 1945 diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Sebagai putri pertama Bung Karno, Megawati mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan rakyat Indonesia, yang telah berjuang menjadikan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Niatan Jokowi meliburkan Hari Lahir Pancasila sebelumnya sempat kurang mendapat dukungan dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengaku keberatan jika libur 1 Juni hanya digunakan untuk tidak melakukan aktivitas belajar, bekerja, namun justru diisi dengan istirahat atau bertamasya saja.
"Saya belum mendengar secara resmi dari Presiden. Saya kok agak kurang setuju ya, karena Pancasila ini bukan untuk libur," ujar Hidayat di sela rangkaian acara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat pada Senin malam 30 Mei 2016.
Kendati begitu, kata Hidayat, jika libur yang dimaksud diisi dengan kegiatan-kegiatan yang spesifik tentang Pancasila, seperti seminar, perlombaan, dan program konkret lain, maka wacana tersebut masih bisa diterima.
"Jadi kegiatan hari itu tidak lagi di bangku sekolah, kuliah, atau tidak lagi di kantor-kantor, tetapi membuktikan ber-pancasila dalam arti konkret. Kalau itu yang dimaksudkan libur, saya masih mengerti," tutur dia.
"Saya berharap memang yang paling utama dari Hari Lahir Pancasila adalah bukan liburnya, tapi komitmen untuk melaksanakan (butir-butirnya), yang sekarang semakin banyak yang darurat, semakin diperlukan kerja keras, dan bukan hari libur," sambung Hidayat.
Sementara, Sekretaris Kabinet Pramono Anung sebelumnya mengatakan, Presiden Jokowi tak ingin Pancasila sekadar diperingati, melainkan juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu Hari Kelahiran Pancasila dijadikan dijadikan hari libur.
Membumikan Pancasila
Dalam waktu dekat, Jokowi akan segera menggelar pertemuan dengan MPR, merumuskan cara-cara membumikan Pancasila di Tanah Air. Sebab, saat ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah mulai luntur.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu berharap, seluruh rakyat Indonesia bisa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
"Kami akan merumuskan lagi cara-cara yang cepat agar implementasi pengamalan dalam kehidupan keseharian, kita bisa mengamalkan Pancasila sebagai ideologi negara dan dasar negara kita," pungkas Jokowi.
Pada kesempatan yang sama, Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan, bangsa Indonesia memiliki banyak prestasi pascareformasi, mulai kebebasan berpendapat hingga kebebasan demokrasi.
Namun, di samping keberhasilan-keberhasilan tersebut, terdapat hal yang mengkhawatirkan Bangsa Indonesia.
"Saat ini terlihat adanya degradasi pengenalan nilai-nilai Pancasila baik secara normatif maupun substantif," kata Zulkifli, dalam sambutan.
Zulkifli mengatakan, banyak kasus seperti darurat narkoba, korupsi, pelecehan seksual, intoleransi, radikalisme, terorisme, dan berbagai aktifitas menyimpang lainnya yang telah menggerogoti Bangsa Indonesia saat ini.
"Akibatnya, masyarakat Indonesia yang dikenal santun, toleran, dan bergotong royong, seiring era kebebasan justru berubah saling menyingkirkan," tutur Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Hal itu, kata Zulkifli, lantaran kebebasan tak dibarengi dengan penanaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil survei media nasional, persatuan bangsa semakin melemah saat ini.
Namun, Zulkifli optimis, masih ada peluang memperbaiki itu semua. Di antaranya, dengan gencar mensosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Apalagi, masyarakat juga mendukungnya.
"Berita gembiranya, 95,8 persen masyarakat setuju jika Pancasila merupakan dasar negara yang sudah bersifat final, 3,2 persen menjawab tidak setuju, dan satu persennya tidak menjawab," beber dia.
Bahkan, Zulkifli menambahkan, hampir sebagian besar masyarakat ingin penanaman nilai-nilai Pancasila, kembali dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
"Yang setuju nilai-nilai Pancasila diajarkan lagi di sekolah-sekolah ada 99,2 persen. Hampir 100 persen," Zulikifli Hasan memungkasi.
Lima Mutiara
"Bulu kudukku berdiri ketika mendengarkan setiap orang menguraikan rencana yang mencakup hal-hal paling kecil. Mereka terlalu banyak biacara 'seandainya' dan menduga-duga," ucap Sukarno menggambarkan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berlangsung.
Tiga hari ini dia sedang galau. Tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh kepulauan di Indonesia masih kukuh pada pendirian masing-masing tentang prinsip dasar dari Indonesia Merdeka.
Satu kelompok menginginkan membentuk negara Indonesia berdasarkan Islam, sementara kelompok lainnya menginginkan wilayah negara yang luas. Ada juga kelompok yang berpandangan Indonesia belum matang untuk memerintah diri sendiri.
Sukarno memang memilih tokoh-tokoh itu untuk mengikuti sidang BPUPKI di Gedung Volksraad Jalan Pejambon, Jakarta, duduk di tengah-tengah sidang mendengarkan segala keributan dan membiarkan kelompok-kelompok itu mengeluarkan pendapatnya.
Sukarno gemas sekaligus khawatir dengan percekcokan yang tak berujung itu. Ia khawatir kondisi ini akan membuat kemerdekaan Indonesia malah tidak akan pernah terwujud.
Dalam benaknya, muncul kembali prinsip-prinsip dasar negara yang pernah dipikirkannya sejak 16 tahun sebelumnya, saat ia mendekam di gelapnya Penjara Banceuy, Bandung.
Ia juga teringat buah pikirannya saat diasingkan di Pulau Flores, NTT. Di pulau yang sepi dan tanpa kawan itu, Sukarno duduk di bawah pohon sukun di depan rumahnya, dan menghabiskan waktu berjam-jam di tempat itu merenungkan ilham yang diturunkan Tuhan kepadanya, tentang dasar negara yang tepat untuk Indonesia merdeka.
Bagi Sukarno, dasar negara yang tepat bagi Indonesia adalah prinsip-prinsip yang berasal dari tradisi Indonesia, bukan pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika ataupun pada Manifesto Komunis. Juga bukan dari pandangan hidup bangsa lain.
Maka Sukarno pun bersiap menyampaikan buah pikirannya ini pada sidang keesokan harinya, 1 Juni 1945. Namun pada malam harinya, dia menyepi. Sukarno keluar rumah dan menatap bintang-bintang di langit.
Dalam buku berjudulBung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams menuliskan, Sukarno mengaku begitu kagum melihat ciptaan Tuhan itu. Bersama rasa kagumnya ia meratap dalam hati.
"Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya Engkaulah yang Maha Pencipta, Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap napas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku."
Pukul 09.00 pagi, sidang BPUPKI dibuka kembali pada 1 Juni 1945. Sukarno melangkah ke podium marmer yang letaknya lebih tinggi. Tanpa memegang naskah pidato, Sukarno mengupas lima prinsip, yang disebutnya lima mutiara berharga, yakni Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di pengujung pidatonya Sukarno berkata, "Marilah kita menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi biarkan masing-masing orang Indonesia bertuhan Tuhannya sendiri..."
Sukarno kemudian menyebut lima mutiara berharga itu sebagai Pancasila. Lima prinsip yang menjadi dasar negara, seperti Rukun Islam yang juga lima, jari di satu tangan yang juga lima, dan pahlawan Mahabharata yang juga berjumlah lima orang.
Mendengar pidato ini, serentak semua anggota BPUPKI dari pihak Indonesia bertepuk tangan bergemuruh. Mereka berdiri dari kursi masing-masing dan menerima falsafah negara Pancasila yang disodorkan Sukarno secara aklamasi.